SUARAGONG.COM – Penggunaan gas air mata kembali menjadi sorotan usai aparat menembakkannya untuk membubarkan demonstrasi di depan Gedung DPR pada 25 dan 28 Agustus 2025. Meski kerap dianggap hanya menimbulkan iritasi ringan, sejumlah pakar kesehatan mengingatkan bahwa dampak gas air mata tidak bisa disepelekan. Dalam kondisi tertentu, paparan zat kimia ini bahkan dapat mengancam nyawa.
Bahaya Gas Air Mata
Dilansir dari Health Liputan6.com. Profesor Dr. dr. Erlina Burhan Sp (K), M.Sc, spesialis paru konsultan, menegaskan bahwa tingkat bahaya gas air mata dipengaruhi oleh empat faktor utama. “Apakah paparan terjadi di ruang terbuka atau tertutup, berapa lama seseorang terpapar, seberapa tinggi konsentrasi zat kimia yang terhirup, dan kondisi kesehatan masing-masing individu,” jelas Erlina (29/8/2025).
Menurutnya, dampak ringan biasanya bisa pulih dengan cepat. Namun, bila paparan cukup berat, korban bisa memerlukan perawatan intensif di rumah sakit. “Dalam kasus tertentu, komplikasi serius bisa berujung pada kematian, walaupun hal itu jarang,” tambahnya.
Gas air mata bekerja dengan cara mengiritasi saluran pernapasan. Efek yang ditimbulkan bisa berupa batuk, sesak, hingga asfiksia atau kekurangan oksigen. “Jika segera ditangani dengan pemberian oksigen, biasanya pasien dapat tertolong. Tapi tetap ada kemungkinan fatal, tergantung faktor-faktor lain yang menyertainya,” kata Erlina.
Baca Juga :Media Internasional Sorot Demo Indonesia: Tragedi Affan Jadi Sorotan Global
Risiko Tinggi Bagi Penderita Penyakit Paru
Guru Besar Pulmonologi FKUI, Prof. Tjandra Yoga Aditama, menekankan risiko lebih besar pada penderita penyakit paru kronis. “Mereka yang punya asma atau PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) bisa mengalami serangan sesak akut yang berujung gagal napas,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan beberapa senyawa kimia yang kerap digunakan dalam gas air mata, antara lain chloroacetophenone (CN), chlorobenzylidenemalononitrile (CS), dan dibenzoxazepine (CR). Senyawa-senyawa ini bisa menimbulkan gejala akut seperti dada terasa berat, tenggorokan seolah tercekik, batuk, hingga napas berbunyi mengi. Dalam situasi parah, korban bisa mengalami kondisi gawat napas.
Tak hanya pada sistem pernapasan, paparan gas air mata juga memicu iritasi pada mata, mulut, hidung, bahkan luka bakar kimiawi di kulit. “Dampak umumnya bersifat akut, namun pada beberapa kasus bisa berlanjut menjadi masalah kronis,” tambah Tjandra.
Baca Juga : Mahasiswa dan Ojol Malang Gelar Aksi Solidaritas Affan
Faktor yang Menentukan Tingkat Bahaya
Tjandra menekankan ada tiga faktor penentu dampak gas air mata: dosis paparan, sensitivitas individu, serta kondisi lingkungan. “Semakin besar dosis paparan, tentu semakin buruk akibatnya. Selain itu, paparan di ruang tertutup atau dengan sirkulasi udara minim akan jauh lebih berbahaya dibanding di ruang terbuka,” terangnya.
Gas Air Mata Kedaluwarsa Lebih Berbahaya
Sementara itu, Prof. Zullies Ikawati, PhD, Pharm, mengingatkan soal risiko penggunaan gas air mata yang sudah melewati masa kedaluwarsa. Senyawa aktif paling umum adalah CS gas dan OC (oleoresin capsicum). Menurutnya, tabung gas air mata memiliki masa kedaluwarsa karena kandungan kimia dan bahan pendorongnya bisa mengalami degradasi.
“Produk kimia yang rusak kadang lebih toksik dan tidak stabil. Efeknya tetap iritasi pada mata, hidung, serta saluran pernapasan, tetapi bisa jauh lebih berbahaya,” jelas Zullies.
Selain itu, tabung yang kedaluwarsa juga berisiko gagal berfungsi atau justru meledak tidak terkendali. “Jadi bukan berarti gas air mata yang kadaluwarsa lebih aman. Justru risikonya makin tidak terprediksi,” pungkasnya. (Aye/sg)