Demo di Kupang Tolak Kenaikan Tunjangan DPRD NTT

Massa gabungan mahasiswa dan pemuda menggelar aksi unjuk rasa soal Tunjangan DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (9/9/2025). (Aye)

Share

SUARAGONG.COM – Massa gabungan mahasiswa dan pemuda menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (9/9/2025). Mereka menuntut pembatalan kenaikan tunjangan perumahan dan transportasi bagi 65 anggota DPRD NTT yang totalnya mencapai Rp41 miliar per tahun.

Demo di Kupang Tolak Kenaikan Tunjangan DPRD NTT, Ombudsman Ingatkan Potensi Masalah Hukum

Aksi ini diikuti oleh berbagai organisasi, di antaranya Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Liga Mahasiswa Indonesia Demokratik (LMID), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), dan SEMMUT.

Dalam orasinya, mahasiswa menilai kebijakan tersebut tidak pantas dilakukan saat masyarakat NTT masih bergelut dengan krisis.
“Kami minta DPRD segera membatalkan rencana kenaikan tunjangan. Kebijakan itu sangat tidak pantas diambil ketika rakyat sedang susah,” tegas salah satu perwakilan massa aksi.

Baca Juga :DPR Targetkan RUU Perampasan Aset Rampung Tahun Ini

Respons DPRD dan Gubernur

Massa diterima langsung oleh Wakil Ketua DPRD NTT, Petrus Berekmans Roby Tulus, bersama sejumlah anggota DPRD seperti Kristien S Pati dan Alexander Take Ofong.
“Kami menerima aspirasi adik-adik mahasiswa dan akan membahasnya bersama pemerintah provinsi agar keresahan masyarakat ini bisa segera dijawab,” kata Alexander.

Kenaikan tunjangan ini diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) NTT Nomor 22 Tahun 2025 yang merevisi Pergub Nomor 72 Tahun 2024. Dalam aturan tersebut, tunjangan sewa perumahan anggota DPRD ditetapkan Rp23,6 juta per bulan. Sementara tunjangan transportasi berkisar Rp29,5 juta hingga Rp31,8 juta per bulan tergantung posisi pimpinan atau anggota.

Jika dijumlahkan, total tunjangan perumahan dan transportasi untuk seluruh anggota DPRD NTT mencapai Rp41,48 miliar per tahun.

Gubernur NTT, Melkiades Laka Lena, menyebut besaran tunjangan tersebut sudah melalui kajian akademisi serta konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri.
“Pergub ini bukan hal baru. Angka ini pernah digunakan pada periode lalu, sempat dihilangkan, lalu muncul kembali,” ujarnya.

Baca JugaDPR RI Keluarkan 6 Keputusan Tanggapi 17+8 Tuntutan Rakyat

Ombudsman: Bisa Jadi Korupsi Berjemaah

Ketua Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, ikut menyoroti polemik ini. Menurutnya, tunjangan DPRD berpotensi menimbulkan masalah hukum bila tidak sesuai regulasi.

“Masalahnya, jika Pemda dan DPRD tidak memedomani aturan, angka tunjangan bisa melampaui batas. Survei penilai sewa rumah di Kupang paling tinggi Rp4,5 juta per bulan, transportasi paling tinggi Rp18 juta per bulan. Bandingkan dengan angka dalam Pergub yang menetapkan rumah Rp23,6 juta dan transportasi Rp28–31 juta,” jelas Darius.

Ia menegaskan, jika nantinya audit BPK menemukan kelebihan perhitungan, maka uang harus dikembalikan. Jika tidak, berpotensi menjadi tindak pidana korupsi berjemaah.

“Ombudsman mendorong agar Pergub 22 Tahun 2025 segera direvisi dengan mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat NTT. DPR RI saja bisa menurunkan tunjangan mereka, daerah seharusnya juga bisa,” katanya.

Darius menekankan bahwa kepercayaan publik adalah modal utama dalam pembangunan daerah.

“Kalau publik kehilangan rasa percaya, itu bisa berimbas pada kepatuhan pajak dan dukungan terhadap kebijakan pemerintah daerah,” tutupnya. (Aye/sg)