SUARAGONG.COM – Polemik mengenai hubungan antara kebun sawit dan deforestasi kembali mengemuka setelah banjir besar melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir 2025. Perbincangan itu semakin ramai setelah pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2024. Yang menyebut bahwa perluasan kebun sawit tidak perlu ditakuti karena sawit tetap merupakan pohon yang menyerap karbon. Namun, para peneliti lingkungan menilai, kebun sawit secara ilmiah tidak dapat menggantikan fungsi ekologis hutan.
Mengapa Kebun Sawit Tidak Bisa Jadi Pengganti Hutan Alam
Dalam struktur ekologis, hutan alam memiliki lapisan vegetasi yang sangat kompleks. Mulai dari kanopi tinggi, pepohonan bertingkat, tanaman semak, hingga mikroorganisme tanah. Kompleksitas ini memungkinkan hutan menyerap karbon dalam jumlah jauh lebih besar dibandingkan kebun sawit monokultur yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman dengan jarak tanam seragam.
Data Global Forest Watch dan kajian IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menunjukkan bahwa pembukaan lahan, termasuk untuk perkebunan sawit, menyumbang emisi signifikan akibat hilangnya tutupan hutan primer yang menyimpan karbon selama ratusan tahun.
Ketika kebun sawit dibuka, terutama di lahan gambut, prosesnya menghasilkan pelepasan karbon dalam jumlah sangat besar. Pembakaran gambut untuk membuka lahan adalah praktik yang paling banyak dikritik oleh ilmuwan dunia. Akibatnya, Indonesia beberapa kali mengalami bencana kabut asap, terutama ketika lapisan gambut yang terbakar melepaskan emisi sampai ke negara tetangga.
Hutan Sebagai Payung Bumi
Secara hidrologis, hutan juga memiliki kemampuan mengelola air lebih baik dibandingkan kebun sawit. Jaringan akar hutan yang beragam kedalamannya menjaga penyerapan air secara stabil. Ketika hutan diganti sawit, kemampuan tanah menahan air berkurang drastis. Penelitian dari CIFOR (Center for International Forestry Research) sejak 2015 menegaskan bahwa konversi hutan menjadi kebun sawit meningkatkan risiko banjir dan longsor. Terutama di wilayah dataran rendah tropis seperti Sumatra.
Di sisi lain, para peneliti lingkungan juga terus menegaskan perbedaan fundamental antara hutan dan sawit. Fiona McAlpine, Communications and Project Manager di The Borneo Project, menulis bahwa sekalipun disebut berkelanjutan, perkebunan sawit tetap tidak bisa dianggap sebagai hutan. “Monokultur industri ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan keanekaragaman hayati hutan asli,” ujarnya dalam publikasi Eco-Business.
Senada dengan itu, Wong Ee Lynn, seorang penulis lingkungan dan aktivis konservasi yang sering menulis di Malaysiakini, menekankan bahwa kebun sawit tidak memenuhi kriteria hutan rimba. Ia menjelaskan bahwa perkebunan monokultur membutuhkan pupuk sintetis, insektisida, bakterisida hingga herbisida dalam jumlah besar. Semua itu untuk meniru sebagian kecil fungsi yang dilakukan secara alami oleh ekosistem hutan.
“Ekosistem hutan yang beragam menyediakan keseimbangan alami untuk menjaga kesehatan tanah dan tanaman,” tulisnya. Sebaliknya, perkebunan sawit menciptakan ketergantungan terhadap bahan kimia dan mengurangi kualitas tanah. Serta minimnya jumlah organisme menguntungkan di dalamnya.
Dimensi Kultural yang Saling Melengkapi
Selain fungsi ekologis, hutan memiliki dimensi kultural yang tidak tergantikan. Bagi banyak masyarakat adat di Indonesia, terutama di Papua, Kalimantan, dan Sumatra, hutan merupakan bagian dari identitas, ruang hidup, dan sumber pangan. Hilangnya hutan berarti hilangnya pengetahuan tradisional dan sistem sosial yang sudah bertahan ratusan tahun. Kebun sawit, dengan struktur homogen dan sifat industri, tidak dapat menggantikan nilai budaya tersebut.
Dari seluruh kajian, tampak jelas bahwa kebun sawit dan hutan memiliki perbedaan yang tak dapat disamakan—baik dalam penyerapan karbon, pengelolaan air, keanekaragaman hayati. Hingga fungsi sosial-budaya. Deforestasi yang disebabkan oleh perluasan kebun sawit bukan hanya memicu bencana ekologis, tetapi juga mengancam keberlanjutan kehidupan masyarakat setempat.
Oleh karena itu, wacana bahwa kebun sawit dapat menggantikan hutan bukan hanya meleset secara ilmiah. Tetapi juga berpotensi menyesatkan arah kebijakan lingkungan di masa depan. (Aye/sg)
Sumber : Mongabay, Nationalgeographic, FWI