QRIS Metode Pembayaran Lokal yang Ditentang Amerika

ilustrasi barcode pembayaran qris (pexel.com)

Share

SUARAGONG.COM – Dalam beberapa tahun terakhir, geliat ekonomi digital di Asia Tenggara menunjukkan arah baru yang mengejutkan dunia. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, Thailand, dan Myanmar mulai menegaskan kedaulatan ekonominya melalui sistem pembayaran digital lokal seperti QRIS di Indonesia. PromptPay di Thailand, dan MPu di Myanmar. Langkah ini bukan hanya tentang efisiensi pembayaran, tapi juga mencerminkan upaya membangun infrastruktur kedaulatan ekonomi digital yang mandiri dan tahan terhadap dominasi sistem global. Khususnya yang dikendalikan oleh negara-negara Barat seperti Amerika Serikat.

QRIS Jawaban Indonesia atas Ketergantungan Sistem Global

Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) adalah standar pembayaran berbasis QR code yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI). Diluncurkan pada 2019, QRIS bukan sekadar alat transaksi digital. Melainkan simbol dari upaya Indonesia memperkuat sistem pembayaran domestik yang inklusif dan terintegrasi.

Sebelum QRIS, Indonesia mengalami fragmentasi dalam sistem pembayaran digital. Setiap penyedia layanan memiliki sistem QR-nya sendiri, yang menyulitkan pelaku UMKM dan konsumen. QRIS hadir sebagai standar nasional, memungkinkan siapa pun untuk bertransaksi dengan satu kode yang terhubung ke berbagai platform. Tujuannya jelas: mendorong inklusi keuangan dan mengurangi dominasi infrastruktur asing dalam sistem pembayaran nasional.

Namun lebih dari itu, QRIS juga mencerminkan aspirasi Indonesia untuk lepas dari dominasi jaringan kartu global seperti Visa dan Mastercard. Langkah ini tidak luput dari sorotan negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, yang melihat munculnya sistem pembayaran lokal sebagai ancaman terhadap pengaruh mereka dalam sistem keuangan global.

Baca juga: AS Kritik Kebijakan QRIS, Dinilai Tak Libatkan Pelaku Usaha Asing

PromptPay Thailand Mempercepat Transaksi Domestik

Thailand meluncurkan PromptPay pada 2017 sebagai bagian dari inisiatif “Thailand 4.0” untuk mendorong digitalisasi ekonomi. Sistem ini memungkinkan warga Thailand melakukan transfer uang hanya dengan menggunakan nomor telepon atau nomor identitas nasional, tanpa memerlukan informasi rekening bank yang rumit.

PromptPay tidak hanya memudahkan transaksi antarindividu, tetapi juga digunakan untuk pembayaran ke merchant, pengembalian pajak, hingga distribusi bantuan pemerintah. Efisiensi dan keterjangkauan PromptPay menjadikannya favorit masyarakat, sekaligus mengurangi ketergantungan pada sistem pembayaran global yang mengenakan biaya tinggi.

Langkah Thailand ini pun menjadi preseden penting di kawasan Asia Tenggara. Keberhasilan PromptPay menunjukkan bahwa negara-negara berkembang mampu menciptakan sistem pembayaran sendiri yang aman, cepat, dan merakyat, tanpa harus tunduk pada regulasi dan biaya yang ditentukan oleh perusahaan-perusahaan keuangan Barat.

Baca juga: Dukung UMKM, QRIS Bank Jatim Ramadan Vaganza Sukses Digelar

MPu Myanmar Kemandirian di Tengah Krisis

Di tengah krisis politik dan ekonomi, Myanmar tetap bergerak membangun sistem pembayaran nasionalnya, Myanmar Payment Union (MPu). Diluncurkan oleh Central Bank of Myanmar. MPu bertujuan menyatukan sistem pembayaran di negara tersebut dan mengurangi ketergantungan pada dolar AS dan sistem pembayaran internasional.

Walaupun infrastruktur digital Myanmar masih tertinggal dibanding negara tetangga. Kehadiran MPu menunjukkan semangat kemandirian yang sama. Membangun pondasi ekonomi dari dalam negeri, meski tekanan politik dan sanksi ekonomi dari negara besar seperti Amerika Serikat terus membayangi.

Baca juga: Parkir CFD Probolinggo Kini Pakai QRIS, Tapi Efektif Gak Sih?

Gerbang Pembayaran Nasional Indonesia

Sebelum QRIS, Indonesia lebih dulu membentuk Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) pada 2017. GPN adalah ekosistem sistem pembayaran terintegrasi untuk transaksi domestik, yang mengharuskan transaksi menggunakan kartu debit domestik (kartu berlogo GPN) diproses melalui jaringan lokal, bukan internasional.

Langkah ini sangat strategis. Dengan GPN, biaya transaksi menjadi lebih rendah, data transaksi tetap berada di dalam negeri, dan potensi pendapatan bagi lembaga keuangan lokal meningkat. Namun, seperti QRIS, kebijakan ini mendapat perhatian negatif dari pemain global, khususnya Visa dan Mastercard yang selama ini menikmati dominasi atas sistem pembayaran Indonesia.

Bahkan, pada 2023 lalu, Amerika Serikat melalui USTR (United States Trade Representative) sempat mengkritik regulasi Indonesia soal GPN yang dianggap mendiskriminasi perusahaan asing. Hal ini menunjukkan bagaimana upaya negara-negara berkembang dalam menjaga kedaulatan digital dan ekonomi sering kali bertentangan dengan kepentingan geopolitik negara adidaya.

Baca juga: Pembayaran Pakai QRIS Tidak Kena PPN

Perlawanan AS Mengapa Mereka Resah?

Amerika Serikat dan perusahaan-perusahaan raksasa keuangan berbasis di negaranya memiliki kepentingan besar dalam sistem pembayaran global. Dominasi mereka atas jaringan pembayaran seperti Visa, Mastercard, dan SWIFT bukan hanya soal ekonomi, tapi juga pengaruh geopolitik.

Sistem pembayaran lokal seperti QRIS, GPN, PromptPay, dan MPu dianggap mengganggu ekosistem yang sudah mapan. Saat transaksi mulai tidak lagi melalui sistem global, AS kehilangan sebagian kontrol atas arus uang dunia, serta potensi pendapatan dari biaya transaksi lintas batas.

Kritik, tekanan diplomatik, hingga potensi sanksi pun muncul sebagai respon. Negara berkembang seperti Indonesia, Thailand, atau Myanmar dihadapkan pada pilihan sulit: tunduk pada tekanan global atau melanjutkan jalan kedaulatan ekonomi.

Menuju Ekonomi Digital Berdaulat

Langkah Indonesia melalui QRIS dan GPN, serta negara tetangga seperti Thailand dengan PromptPay, adalah sinyal kuat bahwa kedaulatan ekonomi digital kini menjadi isu utama di Asia Tenggara. Ini bukan semata pertarungan teknologi, melainkan bagian dari perjuangan membangun sistem ekonomi yang lebih adil dan mandiri.

Di masa depan, sistem pembayaran lokal bukan hanya alat transaksi, tapi juga pondasi kedaulatan ekonomi kedaulatan. Dan jika negara-negara ini berhasil menguatkan sistemnya sendiri, bukan tidak mungkin dominasi sistem global yang didikte oleh Barat akan mulai terkikis.

Baca Artikel Berita Terupdate Lainnya dari Suaragong di Google News.