Koalisi Sipil Desak RUU KUHAP Ditarik: Kurangnya Perlindungan Korban dan Tersangka

RUU KUHAP

Share

SUARAGONG.COM – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mendesak DPR RI dan pemerintah menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Desakan ini muncul setelah mereka merasa dicatut namanya sebagai pihak yang memberikan masukan dalam rapat Panitia Kerja (Panja) pada 12–13 November 2025.

Koalisi Sipil Desak RUU KUHAP Ditarik: Kebohongan dan Belum Pada Intinya?

Dalam rapat tersebut, pemerintah dan Komisi III DPR mengklaim bahwa sejumlah pasal merupakan usulan dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi. Mereka antara lain YLBHI, LBHM, IJRS, LBH APIK, Lokataru Foundation, ILRC, Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, dan AJI.

Namun, koalisi menegaskan bahwa banyak masukan yang disebutkan dalam rapat ternyata tidak akurat dan berbeda substansi dengan rekomendasi resmi yang mereka berikan.

“Kami menilai Rapat Panja tersebut seperti orkestrasi kebohongan untuk memberikan kesan bahwa DPR dan Pemerintah telah mengakomodir masukan.” Ujar Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan kepada Tirto, Minggu (16/11/2025).

Panja Dianggap Tak Sentuh Masalah Substansi

Koalisi juga mengkritik proses pembahasan yang berlangsung sangat singkat, hanya dua hari. Hal ini dinilai tidak menyentuh persoalan inti yang sejak lama mereka soroti. Fadhil menyebut Panja kembali mengulangi kekeliruan yang sama seperti pada pembahasan Juli 2025.

Menurutnya, Panja tidak membahas pasal-pasal bermasalah. Termasuk ketentuan yang berpotensi membuka ruang penyalahgunaan wewenang.

Misalnya, praktik undercover buy dan controlled delivery yang sebelumnya hanya digunakan untuk penyidikan kasus narkotika. Kini justru dimasukkan secara serampangan ke dalam metode penyelidikan dan berlaku untuk seluruh jenis tindak pidana, dan tanpa pengawasan hakim (Pasal 16).

Koalisi juga menyoroti kembali munculnya pasal karet, seperti tindakan pengamanan pada tahap penyelidikan (Pasal 5). Padahal KUHAP yang berlaku saat ini sangat membatasi kewenangan tersebut.

Ketentuan Baru: Paksa Penggeledahan

Selain itu, terdapat ketentuan baru soal Paksa Penggeledahan, Penyitaan, dan Pemblokiran tanpa izin pengadilan dengan alasan keadaan mendesak (Pasal 105, 112A, 132A). RUU KUHAP juga membuka ruang penyadapan tanpa izin hakim yang hanya didasarkan pada undang-undang turunan yang belum terbentuk (Pasal 124).

Baca Juga : Menko Yusril: Hukuman Mati Tidak Dihapus dari KUHP Nasional yang Baru

Desakan untuk Presiden Prabowo

Atas berbagai persoalan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden Prabowo Subianto menarik draf RUU KUHAP dari pembahasan tingkat II. Dalam sidang paripurna DPR yang rencananya digelar pekan depan. Mereka menilai pengesahan RUU yang cacat substansi justru akan mengancam prinsip-prinsip fair trial, transparansi, dan akuntabilitas penegakan hukum.

Koalisi juga meminta DPR membuka dan mempublikasikan secara resmi draf RUU KUHAP terbaru hasil rapat Panja pada 13 November 2025. Agar publik dapat menilai secara langsung perubahan maupun pasal-pasal kontroversial yang masih dipertahankan. (Aye/sg)