SUARAGONG.COM – Bank Indonesia (BI) mencatat arus keluar modal asing yang signifikan pada pekan kedua April 2025. Berdasarkan data transaksi periode 8–10 April 2025, nonresiden tercatat melakukan jual neto sebesar Rp24,04 triliun di pasar keuangan domestik.
Modal Asing Kabur dari Indonesia
Direktur Eksekutif BI Ramdan Denny Prakoso menjelaskan, akumulasi jual neto itu terjadi di pasar Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Surat Berharga Negara (SBN), dan pasar saham. “Secara agregat nonresiden tercatat jual neto Rp24,04 triliun, terdiri dari Rp10,47 triliun di SRBI, Rp7,84 triliun di SBN, dan Rp5,73 triliun di saham,” ujar Ramdan dalam keterangan resmi BI, Minggu (13/4/2025).
Namun, bila dilihat secara year to date (ytd) hingga 10 April 2025, asing masih mencatat beli neto Rp7,11 triliun di SRBI dan Rp13,05 triliun di pasar SBN. Sementara itu, pasar saham mengalami tekanan dengan jual neto asing mencapai Rp32,48 triliun sepanjang tahun ini.
Seiring dengan kondisi tersebut, premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun naik menjadi 113,35 basis poin (bps) per 10 April 2025. Di mana yang dari sebelumnya 105,75 bps pada 4 April 2025. Meski begitu, yield SBN 10 tahun justru turun ke level 7,026%.
Rupiah Sempat Menguat
Di tengah tekanan modal keluar, nilai tukar rupiah justru sempat menguat pada Kamis, 10 April 2025. Rupiah tercatat menguat 50 poin atau 0,29 persen menjadi Rp16.823 per dolar AS dari posisi sebelumnya Rp16.873 per dolar AS. Kurs referensi JISDOR Bank Indonesia juga menguat ke level Rp16.779 dari sebelumnya Rp16.943 per dolar AS.
Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuabi, menilai penguatan ini didorong oleh meredanya kekhawatiran pasar terhadap kemungkinan resesi ekonomi di Amerika Serikat (AS).
“Pasar mengurangi ekspektasi akan terjadinya resesi di AS. Meskipun risalah rapat The Fed bulan Maret menunjukkan kekhawatiran terkait inflasi yang tinggi dan pertumbuhan yang melambat,” ujarnya.
Baca Juga : Gaes !!! Sri Mulyani Dipastikan Kembali Sebagai Menteri Keuangan di Kabinet Prabowo
Efek Kebijakan Tarif Donald Trump
Faktor lain yang turut meredakan sentimen negatif global adalah kebijakan Presiden AS Donald Trump yang menangguhkan pemberlakuan tarif tinggi terhadap 75 negara selama 90 hari sejak 9 April. Sebelumnya, negara-negara tersebut terancam kenaikan tarif di atas 10 persen, yang dikhawatirkan akan memicu perang dagang lebih luas.
Kebijakan ini juga dinilai bisa berdampak pada ekonomi Indonesia. Menurut Ekonom ISEAI Ronny P. Sasmita, dampak dari perang dagang global bisa memperburuk kondisi deindustrialisasi dini yang dialami Indonesia. “Jika tidak diantisipasi, deindustrialisasi dini akan terus berlanjut,” ujarnya.
Ronny juga menyebut bahwa situasi global yang tidak menentu akan mendorong investor untuk mencari aset yang lebih aman seperti dolar AS. “Dalam kondisi ketidakpastian global, dolar akan menguat karena dianggap sebagai safe haven. Ini membuat permintaan dolar meningkat dan nilai rupiah tertekan karena banyak yang melepas rupiah,” tambahnya.
Trump mengklaim penangguhan tarif diberikan karena negara-negara mitra telah menunjukkan itikad baik untuk mencari solusi atas hambatan dagang, tarif, dan isu manipulasi mata uang.(aye)
Baca Juga Artikel Berita Lain dari Suaragong di Google News