Pemerintah Bentuk TGPF untuk Usut Kerusuhan Demo Agustus

Gelombang desakan publik agar pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) semakin menguat pasca-kerusuhan demonstrasi besar-besaran (Ist)

Share

SUARAGONG.COM – Gelombang desakan publik agar pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) semakin menguat pasca-kerusuhan demonstrasi besar-besaran pada akhir Agustus 2025 lalu. Peristiwa kelam itu merenggut sedikitnya 10 korban jiwa, termasuk Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring yang tewas terlindas kendaraan taktis Brimob, hingga Rheza Sendy Pratama, mahasiswa Amikom yang meninggal penuh luka di depan Mapolda DIY.

Pemerintah Segera Bentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF): Cari Dalang Kerusuhan 

Koalisi masyarakat sipil menilai, maraknya dugaan pelanggaran prosedur oleh aparat membuat kehadiran TGPF yang independen tak bisa ditawar. Harapannya, tim itu bisa menguak kejanggalan dan memastikan hak publik atas kebenaran.

Pemerintah Masih Setengah Hati

Sayangnya, alih-alih merespons dengan langkah cepat, pemerintah justru terkesan enggan. Menko KumHAM Imipas, Yusril Ihza Mahendra, menilai TGPF bukanlah urgensi. Menurutnya, kepolisian sudah menindaklanjuti kasus kekerasan yang muncul selama aksi.

“Daripada menunggu lama pembentukan TGPF, saya kira lebih baik menggunakan aparat penegak hukum yang ada sekarang. Lebih cepat kerjanya,” ujar Yusril di Istana Negara, Kamis (11/9/2025).

Wakilnya, Otto Hasibuan, pun senada. Ia menilai polisi telah bekerja cukup baik, sehingga tim investigasi independen dianggap tidak perlu.

Masalahnya, mayoritas dari 5.444 orang yang ditangkap usai demo adalah mahasiswa dan pelajar. Dari jumlah itu, 583 masih ditahan dan berstatus tersangka. Bahkan, sejumlah aktivis seperti Direktur Lokataru Delpedro Marhaen hingga admin akun Gejayan Memanggil Syahdan Husein turut ditetapkan sebagai provokator. Sementara itu, 592 akun media sosial diblokir dengan tudingan menyebar provokasi.

Ironisnya, di sisi lain, KontraS mencatat masih ada tiga peserta aksi yang hilang: Bima Permana Putra, M. Farhan Hamid, dan Reno Syahputradewo. Beberapa yang “ditemukan” belakangan ternyata ditangkap polisi tanpa akses pendampingan hukum.

Baca Juga : Presiden Nepal, PM, dan Para Menteri Mundur Imbas Demo Rusuh

Kritik dari Akademisi dan LSM

Ahli Hukum Tata Negara UGM, Herlambang P. Wiratraman, menilai alasan Yusril keliru. Menurutnya, justru karena ada dugaan kekerasan aparat, penyelidikan tak boleh hanya diserahkan kepada kepolisian.

“Bagaimana pertanggungjawaban atas 10 orang yang meninggal dunia? Kenapa akses keluarga dan pengacara dibatasi? Hal ini semakin menunjukkan perlunya tim independen,” tegas Herlambang.

Setara Institute juga menyuarakan hal serupa. Peneliti HAM, Ikhsan Yosarie, menegaskan bahwa TGPF bukan pengganti wewenang polisi, tapi mekanisme kontrol independen. “Jika semua diserahkan ke aparat yang justru diduga melakukan pelanggaran, publik wajar meragukan objektivitas hasilnya,” ujarnya.

Mencari Kebenaran, Bukan Menutupinya

Bagi masyarakat sipil, TGPF adalah instrumen untuk memulihkan kepercayaan publik, sekaligus mekanisme cooling down atas kemarahan rakyat. Dengan TGPF, fakta bisa dibedakan antara aspirasi demokratis yang dijamin konstitusi dan potensi penumpang gelap yang dituding ikut menunggangi aksi.

Karena itu, desakan agar Presiden Prabowo segera membentuk TGPF terus bergema. Jika pemerintah hanya mengandalkan versi aparat, kerusuhan Agustus berpotensi jadi catatan gelap lain dalam demokrasi Indonesia—dikenang bukan karena upaya transparansi, tapi karena upaya menutupinya. (Aye/sg)