SUARAGONG.COM – Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia terhadap transisi energi hijau dengan menerapkan kebijakan biodiesel B50 pada 2025. Pengumuman ini disampaikan dalam pidato di Indonesia-Brazil Business Forum, Rio de Janeiro, pada 17 November 2024. Langkah ini mempercepat target sebelumnya, yang mengusulkan transisi dari B35 pada 2023 ke B40 pada awal 2025.
Kebijakan Biodiesel B50 Diberlakukan pada 2025
Melalui kebijakan ini, 50 persen bahan bakar diesel akan berasal dari biodiesel berbasis kelapa sawit. Presiden Prabowo menjelaskan bahwa kebijakan tersebut sejalan dengan visi pemerintahannya dalam meningkatkan hilirisasi dan nilai tambah sumber daya dalam negeri, sekaligus mendorong keberlanjutan energi.
Kebijakan B50 juga bertujuan untuk mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sektor energi menyumbang 34 persen emisi GRK Indonesia. Biodiesel berbasis kelapa sawit diproyeksikan mampu mengurangi emisi karbon hingga 70 persen, dengan potensi penurunan sebesar 25 juta ton setara CO₂ pada 2025.
Dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) 2022, Indonesia menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 31,89 persen dengan usaha sendiri atau 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Kebijakan B50 menjadi bagian penting dalam strategi ini.
Dampak Ekonomi yang Signifikan
Selain dampak ekologis, kebijakan ini juga membawa manfaat ekonomi yang besar. Pada 2023, program biodiesel menyerap 40 persen produksi kelapa sawit nasional, menghasilkan nilai tambah hingga Rp79,1 triliun. Dengan implementasi B50, angka tersebut diperkirakan meningkat menjadi Rp90 triliun, sekaligus menciptakan 500.000 lapangan kerja baru di sektor pengolahan dan distribusi.
Sebagai produsen kelapa sawit terbesar dunia dengan produksi mencapai 51,3 juta ton pada 2023, Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dalam pengembangan biodiesel. Pasar global juga menawarkan peluang besar, dengan proyeksi pertumbuhan pasar biodiesel dunia sebesar 5,5 persen per tahun hingga 2027, senilai 58 miliar dolar AS.
Keberlanjutan dan Teknologi
Pemerintah memastikan keberlanjutan produksi melalui penerapan teknologi canggih dan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), yang wajib mulai 2025. Teknologi second-generation biofuel diperkirakan dapat meningkatkan efisiensi pengolahan hingga 15–20 persen.
Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim. Dengan kemampuan menyerap 64 ton CO₂ per hektare per tahun, kelapa sawit berkontribusi pada upaya mencapai target net zero emission pada 2060.
Baca Juga : Gaes !!! Pemerintah Tengah Perkuat Ekspor dan Hilirisasi Industri Kelapa Sawit Berkelanjutan
Keberhasilan kebijakan B50 membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat. Pemerintah telah menciptakan kerangka kebijakan yang mendukung keberlanjutan, sementara industri diharapkan terus berinovasi untuk meningkatkan efisiensi. Masyarakat, terutama petani kelapa sawit, memegang peran penting dalam memastikan praktik agribisnis yang ramah lingkungan. (Aye/sg)
Baca Artikel Berita Lain dari Suaragong di Google News.