SUARAGONG.COM – Aksi demonstrasi yang merebak di berbagai daerah Indonesia dalam beberapa pekan terakhir turut menjadi perhatian kalangan akademisi hukum. Hal itu mencuat dalam Seminar Nasional Badan Kerja Sama Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi se- Indonesia 2025 (BKSDFH) yang digelar di Hall Rudi Margono lantai 10 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB), Kota Malang, Rabu (3/9/2025).
Akademisi Hukum Soroti Peran AI dalam Pendidikan dan Ricuhnya Aksi Demo Nasional
Mengusung tema “Aspek AI dalam Kurikulum Ilmu Hukum”, seminar ini sekaligus menjadi bagian dari rapat kerja nasional. Para dekan Fakultas Hukum menekankan bahwa perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), harus diintegrasikan dengan pembelajaran hukum tanpa melupakan nilai-nilai keadilan.
“Basis kita membicarakan norma, tetapi proses pembelajaran hukum tidak lepas dari teknologi informasi. Mahasiswa kita sudah jauh di depan, maka hukum harus bisa mengantisipasi ini,” ujar Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum, Dekan FH UB.
Aan menegaskan, AI hanyalah alat bantu. Hukum tetap harus berbasis pada nilai humanisme: rasa, pertimbangan sosial, dan norma hidup dalam masyarakat. “AI itu mesin, tidak bisa merasakan, tidak bisa menimbang nilai. Yang ia tahu hanya analisis pasal, dan penggunaannya pun masih kurang efektif,” tegasnya.
Baca Juga :Polemik Royalti Musik, Akademisi FH UB Ingatkan Keadilan Hak Cipta
Sorotan pada Ricuhnya Aksi Demo
Di luar tema akademik, Aan juga menyinggung kondisi nasional. Menurutnya, gelombang aksi demo yang berujung ricuh di sejumlah daerah merupakan cermin sakitnya demokrasi Indonesia. Ia menyayangkan tindakan represif aparat yang justru menambah daftar korban, termasuk 10 orang yang tercatat meninggal dunia menurut Komnas HAM.
“Kalau demo murni, biasanya hanya bentrokan kecil lalu mundur. Tapi kalau sampai penjarahan, pembakaran, bahkan perusakan fasilitas, saya ragu ini murni masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi,” katanya.
Ia mencontohkan pembakaran Graha Cagar Budaya di Surabaya yang dianggap sebagai bentuk kerusakan yang justru melukai kepentingan publik. “Itu seperti menyerang diri sendiri,” tambahnya.
Sikap BKSDFH Indonesia
Senada, Dahliana Hasan, S.H., M.Tax., Ph.D, Dekan FH Universitas Gadjah Mada yang mewakili BKSDFH Indonesia, menegaskan bahwa para dekan hukum se-Indonesia menyampaikan empati mendalam atas korban kericuhan demo.
“Kami prihatin, karena ini tidak hanya soal korban jiwa, tapi juga luka-luka, penangkapan aktivis, dan rasa ketidakadilan di masyarakat,” ujarnya.
Dahliana menilai aparat negara seharusnya hadir untuk melayani, bukan justru represif terhadap warga yang menyuarakan aspirasi. “Kalau aksi damai berlangsung, itu harus didengar. Jangan malah direspons dengan hal-hal yang melanggar hukum dan hak asasi manusia,” tegasnya.
Menyatukan Hukum, Teknologi, dan Keadilan Sosial
Diskusi para dekan hukum ini menegaskan bahwa dunia hukum Indonesia tengah berada di persimpangan: di satu sisi dituntut untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi seperti AI, sementara di sisi lain masih menghadapi problem klasik berupa praktik kekuasaan yang represif.
Seminar nasional ini menjadi pengingat bahwa hukum bukan hanya soal teks dan pasal, melainkan juga keadilan sosial yang hidup dalam masyarakat. (Aye/sg)