SUARAGONG.COM – Fenomena maraknya penggunaan Sound Horeg di berbagai acara hajatan masyarakat Jawa Timur terus menuai pro dan kontra. Menanggapi Sound Horeg tersebut, Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur, dr Benjamin Kristianto, M.Kes menilai perlu adanya regulasi khusus dari pemerintah daerah. Hal ini agar kebisingan yang ditimbulkan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat.
Komentar Benjamin Kristianto Terkait Fenomena Sound Horeg: Harus Ada Regulasi
Pernyataan dr Beny—sapaan akrab politisi Partai Gerindra ini—juga sekaligus merespons sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa haram terhadap penggunaan Sound Horeg karena dianggap mengganggu dan tidak memiliki nilai edukatif.
“Sound Horeg bukan sekadar persoalan budaya atau hiburan, tetapi juga soal keselamatan dan kesehatan masyarakat. Pemerintah provinsi perlu hadir dengan regulasi yang jelas agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi pendengaran, jantung, hingga fungsi otak,” ujar anggota Komisi E DPRD Jatim ini, Kamis (31/7/2025).
Baca Juga : Bupati Jombang Atur Ulang Penggunaan Sound Horeg
Ambang Batas Normal Pendengaran
Sebagai seorang dokter, dr Beny menjelaskan bahwa pendengaran manusia memiliki ambang batas normal pada kisaran 40 desibel. Bila paparan suara melampaui ambang tersebut secara terus-menerus, seperti dalam kegiatan Sound Horeg yang bisa mencapai lebih dari 60 desibel, maka rambut-rambut halus (bulu getar) di dalam telinga akan rusak.
“Kalau sudah rusak, kemampuan pendengaran menurun. Awalnya tidak terasa, tapi lama-lama bisa tuli permanen. Bahkan bisa memicu gangguan jantung dan menyebabkan pingsan hingga kematian, terutama bagi penderita jantung lemah,” paparnya.
Ia mencontohkan pekerja pabrik yang terpapar suara mesin setiap hari. Biasanya, mereka akan dipindahkan ke bagian yang lebih tenang untuk menurunkan kembali ambang pendengarannya. Hal yang sama harus menjadi pertimbangan ketika berbicara tentang Sound Horeg di ruang publik.
Baca Juga : Pemprov Jatim Siapkan Regulasi Sound Horeg Lewat Tim Khusus
Pengaturan Maksimal Desibel, Jam Operasional dan Lokasi Sound Horeg
Karena itu, dr Beny mendorong Pemprov Jatim agar merumuskan aturan teknis terkait batas maksimal kekuatan suara (desibel), jam operasional, serta lokasi pertunjukan Sound Horeg agar tidak berada di area padat pemukiman.
“Kita tidak melarang kreativitas atau bisnis hiburan. Tapi harus ada pengaturan agar tidak merugikan masyarakat secara kesehatan. Kalau bisa diadakan di ruang terbuka yang jauh dari rumah warga. Tentunya dengan batas suara yang sesuai standar WHO,” tegas dr Beny, yang juga baru saja menerima gelar kehormatan dari Kesultanan Surakarta.
Dengan pendekatan medis dan regulatif, ia berharap ke depan tidak ada lagi korban kesehatan akibat hiburan ini. Di mana seharusnya menyenangkan namun berubah menjadi ancaman. (Wahyu/sg)