SUARAGONG.COM – Fenomena travel gelap kembali marak menjelang musim mudik Lebaran, menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan transportasi umum yang merata dan memadai bagi masyarakat. Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menegaskan bahwa keberadaan travel gelap bukanlah bentuk inovasi, melainkan tanda bahwa kebutuhan transportasi belum terpenuhi dengan baik.
“Ini bukan inovasi, melainkan bukti kebutuhan masyarakat akan transportasi yang belum terpenuhi oleh pemerintah,” ujar Djoko, Minggu (23/3/2025).
Pemerintah Wajib Penuhi Kewajiban Sesuai UU
Djoko mengingatkan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan angkutan umum sesuai regulasi yang tertuang dalam Pasal 138 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Dalam regulasi ini, ditegaskan bahwa angkutan umum harus selamat, aman, nyaman, dan terjangkau bagi masyarakat.
Lebih lanjut, Pasal 139 UU LLAJ menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib menyediakan layanan angkutan umum, baik untuk rute antarprovinsi, antarkabupaten/kota, hingga ke pedesaan.
“Angkutan umum hanya boleh diselenggarakan menggunakan kendaraan bermotor umum oleh BUMN, BUMD, atau badan hukum lain sesuai peraturan,” tegas Djoko.
Namun, dalam realitasnya, banyak daerah, terutama pedesaan, justru mengalami krisis transportasi umum. Djoko mencontohkan insiden tragis kecelakaan minibus travel gelap di Tol Cikampek KM 58 pada mudik Lebaran 2024, yang menewaskan 12 penumpang.
“Angkutan pedesaan banyak yang punah, sedangkan kebutuhan mobilitas warga meningkat, terutama bagi pekerja di Jabodetabek yang berasal dari pedesaan,” jelasnya.
Ciri Travel Gelap dan Dugaan Keterlibatan Oknum
Travel gelap beroperasi dengan ciri khas tertentu, salah satunya adalah stiker khusus yang diduga diperoleh dari oknum aparat untuk menjamin kendaraan bebas razia. Namun, saat ini banyak travel gelap yang tidak lagi menggunakan stiker, melainkan dikenali dari jenis kendaraan yang mereka gunakan, seperti Elf atau Grandmax.
Menurut Djoko, oknum tertentu diduga memfasilitasi operasional travel ilegal tersebut. Sehingga kendaraan ini tetap bisa beroperasi tanpa kendala berarti di jalan.
Baca Juga : Prabowo Minta Pastikan Persiapan Matang Hadapi Arus Mudik
Pola Operasi Travel Gelap: Door to Door dan Tarif Fleksibel
Travel ini mayoritas beroperasi di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, dengan rute utama dari daerah seperti:
-
Jawa Tengah: Brebes, Banyumas, Tegal, Banjarnegara.
-
Jawa Barat: Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cirebon.
Keunggulan utama travel gelap adalah layanan door to door, di mana penumpang dijemput langsung sesuai share location. Jadwal keberangkatan biasanya antara pukul 16.00 – 19.00 WIB, dengan titik istirahat di perjalanan sekitar pukul 20.00 – 00.00 WIB.
Sistem pembayaran juga fleksibel, bisa dilakukan di awal atau setelah sampai tujuan. Bahkan, terdapat promo khusus untuk rombongan, di mana setiap 6-7 orang, satu penumpang bisa gratis.
Baca Juga : Kemenhub Nyatakan Infrastruktur Transportasi Siap Hadapi Nataru 2024/2025
Merugikan Pengusaha Angkutan Resmi
Keberadaan travel nakal ini menimbulkan keresahan di kalangan pengusaha angkutan umum resmi, yang selama ini diwajibkan mematuhi regulasi ketat.
Djoko menyoroti bahwa praktik nakal ini telah beroperasi selama bertahun-tahun dengan ratusan armada masuk ke Jabodetabek setiap hari, tanpa adanya tindakan tegas dari pemerintah.
“Travel gelap sudah beroperasi bertahun-tahun. Pemerintah harus segera bertindak tegas untuk memberantasnya,” pungkasnya.
Baca Juga Artikel Berita Lain Dari Suaragong di Google News