SUARAGONG.COM – Menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, atau yang sering kita sebut “work-life balance,” ternyata bukan hal yang mudah. Apalagi di era sekarang, banyak dari kita merasa pekerjaan itu masuk sampai ke ranah pribadi, entah itu lewat notifikasi email yang terus berdatangan atau tuntutan untuk selalu “available.” Di sinilah konsep “soft living” masuk—mendorong kita untuk menikmati hidup tanpa terburu-buru, lebih memperhatikan kesejahteraan mental, dan pada akhirnya, menemukan ritme yang nyaman.
1. Mulai Hari dengan Pelan, Tanpa Terburu-Buru
Satu hal yang dulu saya abaikan adalah pentingnya memulai hari dengan pelan. Dulu, saya bangun langsung lari ke kantor, tidak ada waktu untuk diri sendiri atau sarapan yang layak. Tapi setelah mencoba “soft living,” saya mulai membuat rutinitas pagi yang lebih santai. Cukup dengan lima belas menit untuk duduk sambil menikmati secangkir teh atau kopi sambil menulis rencana hari, saya merasa lebih tenang dan terarah. Ini seperti momen untuk “recharge” sebelum menghadapi tuntutan harian.
Saya belajar juga, ketika kita terburu-buru di pagi hari, mood bisa terbawa hingga seharian. Jadi, usahakan untuk bangun sedikit lebih awal dan sisihkan waktu untuk diri sendiri, walaupun hanya sebentar. Kalau saya, suka mendengarkan musik yang bikin rileks, atau sekedar menikmati udara pagi.
2. Batasi Pekerjaan Hanya di Jam Kerja
Ini memang tantangan besar, terutama di era digital di mana kita mudah tergoda untuk memeriksa email atau melanjutkan pekerjaan setelah jam kerja. Tapi, kalau terus dibiarkan, kita bisa merasa seperti bekerja 24/7 tanpa jeda. Jadi, saya memutuskan untuk disiplin membatasi pekerjaan hanya di jam kerja. Setelah jam kerja berakhir, saya matikan notifikasi pekerjaan dan mengalihkan fokus pada hal-hal yang membuat saya senang—misalnya, membaca atau memasak.
Tentu, kadang ada perasaan bersalah kalau meninggalkan pekerjaan begitu saja. Tapi, percaya atau tidak, dengan menjaga batas ini, justru kita bisa lebih produktif saat bekerja karena otak kita sudah istirahat. Keseimbangan ini membantu menjaga energi dan mengurangi risiko burnout yang kerap mengintai kita.
Baca juga : Gaya Hidup Frugal Living yang Trending di Kalangan Milenial
3. Jadwalkan “Time Off” Secara Rutin
Kalau dulu saya berpikir cuti itu cuma buat liburan panjang, sekarang saya mulai menyadari kalau waktu cuti juga bisa digunakan untuk hal-hal sederhana, seperti staycation atau sekadar menikmati hari di rumah tanpa agenda. Saya mulai menjadwalkan waktu “time off” setiap bulan, di mana saya benar-benar lepas dari pekerjaan.
Kadang, saya pakai waktu ini untuk sekedar beristirahat, menonton film, atau bahkan menekuni hobi baru. Misalnya, beberapa waktu lalu, saya mulai belajar melukis kecil-kecilan. Hal-hal sederhana ini ternyata memberikan energi dan inspirasi baru. Jadi, jangan anggap remeh waktu istirahat—gunakan untuk hal-hal yang membuat kita bahagia dan rileks.
4. Mengurangi Tekanan Sosial Media
Salah satu cara saya mulai menjalankan “soft living” adalah dengan mengurangi waktu di media sosial. Kadang kita tidak sadar, media sosial bisa menjadi sumber tekanan yang luar biasa. Lihat postingan orang lain yang seolah selalu produktif atau sedang liburan bisa bikin kita merasa tertinggal atau kurang.
Saya mencoba untuk memfilter akun yang diikuti, hanya memilih konten yang memberi inspirasi positif atau membantu meningkatkan mood. Di lain sisi, saya juga menentukan batasan waktu dalam menggunakan media sosial. Misalnya, saya hanya cek sosial media di pagi hari dan sore hari. Hal ini membantu mengurangi stres dan, yang lebih penting, membuat saya lebih fokus pada hal-hal yang ada di sekitar saya daripada terus membandingkan diri dengan orang lain.
5. Lakukan Hal-Hal Kecil yang Membawa Kebahagiaan
Soft living juga mengajarkan saya untuk menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Dulu, saya terlalu fokus pada pencapaian besar, sampai lupa kalau ada banyak hal sederhana yang bisa membawa senyum di wajah. Sekarang, saya belajar untuk meluangkan waktu menikmati secangkir kopi sore, berjalan-jalan di taman, atau menonton langit sore.
Jangan merasa harus selalu produktif atau mencapai sesuatu yang besar setiap hari. Kadang, menikmati momen kecil ini justru bisa memberi efek positif yang besar pada kesejahteraan kita. Ini juga bisa menjadi pengingat bahwa hidup bukan soal berlari cepat atau selalu mencapai sesuatu. Melainkan, bagaimana kita bisa menikmati setiap langkah yang kita ambil.
Baca juga : Kenapa Orang Memilih Slow Living?
6. Beri Ruang untuk Menjaga Kesehatan Mental
Seiring menjalani konsep soft living, saya jadi lebih menyadari pentingnya menjaga kesehatan mental. Kita sering kali fokus pada fisik, tapi kesehatan mental kerap terabaikan. Salah satu cara yang membantu saya adalah melakukan journaling atau menulis jurnal. Setiap malam, saya menuliskan hal-hal yang terjadi pada hari itu, perasaan, atau hal-hal yang saya syukuri.
Tindakan sederhana ini ternyata memberikan ketenangan dan membantu saya menyadari apa yang benar-benar penting. Dengan menulis, kita juga jadi lebih reflektif, memahami emosi, dan mengenali apa yang sebenarnya menjadi sumber stres atau kebahagiaan.
Mengadopsi “soft living” untuk menjaga keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi memang tidak instan, tapi hasilnya bisa sangat terasa. Dengan mengurangi kecepatan, menikmati momen kecil, dan menjaga batas antara pekerjaan dan waktu pribadi, kita bisa menemukan ritme hidup yang lebih nyaman. Bagi saya, hidup itu bukan soal seberapa cepat kita bisa mencapai tujuan, tapi seberapa banyak kita bisa menikmati prosesnya. (acs)