Type to search

Probolinggo

Setengah Tahun, Angka Perceraian di Probolinggo Naik Signifikan 

Share
Panitera Muda Hukum PA Kraksaan, Akhmad Faruq, menjelaskan bahwa faktor ekonomi jadi penyebab dominan alasan perceraian di Probolinggo

SUARAGONG.COM – Panitera Muda Hukum PA Kraksaan, Akhmad Faruq, menjelaskan bahwa faktor ekonomi menjadi penyebab dominan terjadinya perceraian di wilayah Probolinggo. Ketidakstabilan finansial dalam rumah tangga memicu ketegangan dan konflik berkepanjangan antara pasangan suami istri, yang pada akhirnya berujung pada pengajuan perceraian.

Setengah Tahun Berlalu, Ribuan Perceraian Terjadi di Probolinggo

“Banyak pasangan yang datang ke pengadilan karena merasa sudah tidak bisa melanjutkan hubungan rumah tangga akibat himpitan ekonomi. Pengangguran, pendapatan yang tidak mencukupi, serta beban hidup yang terus meningkat, menjadi pemicu utama,” jelas Faruq.

Selain faktor ekonomi, perselisihan berkepanjangan dan ketidaksepemahaman dalam menjalani kehidupan pernikahan juga menjadi alasan signifikan dalam perkara perceraian. Tidak sedikit pasangan yang merasa tidak lagi sejalan dalam visi dan nilai kehidupan setelah beberapa tahun membina rumah tangga.

Baca JugaGaes !!! Banyak Kasus Perceraian Gara-Gara Judi Online

Kehadiran Pihak Ketiga Jadi Salah Satu Faktor Perceraian

Faruq menambahkan, kehadiran pihak ketiga atau perselingkuhan turut menjadi faktor yang cukup sering ditemukan dalam perkara perceraian. Meski tidak selalu disebutkan secara eksplisit dalam sidang, banyak perkara yang akhirnya terungkap dipicu oleh hilangnya kepercayaan akibat hubungan di luar pernikahan.

“Perselingkuhan tentu menjadi pemicu serius yang merusak fondasi kepercayaan dalam pernikahan. Begitu rasa saling percaya hilang, sangat sulit bagi pasangan untuk mempertahankan rumah tangga,” tambahnya.

Cerai Gugat Lebih Dominan

Salah satu hal menarik dari data PA Kraksaan adalah tingginya jumlah cerai gugat dibanding cerai talak. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar perkara perceraian diprakarsai oleh istri. Faruq menyebutkan bahwa fenomena ini mencerminkan adanya kesadaran hukum yang semakin tinggi di kalangan perempuan, serta keberanian untuk mengambil keputusan saat merasa tidak mendapatkan kenyamanan atau keadilan dalam pernikahan.

“Perempuan sekarang semakin berani mengambil sikap dan memahami hak-hak mereka dalam hukum. Mereka datang sendiri, mengajukan gugatan, dan menjalani proses persidangan dengan cukup percaya diri,” jelasnya.

Melihat tingginya angka perceraian, PA Kraksaan tidak tinggal diam. Faruq menegaskan bahwa pihaknya selalu mengedepankan mediasi sebagai tahap awal proses perceraian. Dalam tahapan ini, pasangan yang mengajukan perceraian diajak berdialog untuk mencari solusi damai yang mungkin masih bisa ditempuh, terutama jika masih ada anak-anak yang menjadi tanggungan.

“Tidak semua perkara langsung diproses sampai putusan. Kami upayakan terlebih dahulu agar pasangan bisa berdamai, khususnya jika alasan perpisahan masih bisa dikomunikasikan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Faruq mengajak masyarakat untuk menempatkan pernikahan sebagai sebuah komitmen jangka panjang. Menurutnya, keputusan untuk menikah tidak hanya dilandasi oleh rasa cinta, tetapi juga perlu disertai dengan kesiapan mental, emosional, dan ekonomi. Ia menekankan pentingnya membangun komunikasi yang sehat antara pasangan sebagai benteng utama dalam menghadapi konflik rumah tangga.

“Pernikahan adalah sebuah perjalanan panjang. Tidak cukup hanya dengan rasa suka. Harus ada kematangan dalam berpikir dan kemampuan menyelesaikan masalah bersama. Komunikasi adalah kunci utama,” katanya.

Peran Pemerintah dan Masyarakat

Tingginya angka perceraian di probolinggo juga seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah dan stakeholder terkait. Faruq menyebut pentingnya edukasi pranikah yang lebih menyeluruh, baik melalui lembaga agama, lembaga pendidikan, maupun organisasi masyarakat.

“Bimbingan pranikah jangan hanya formalitas. Harus benar-benar menyentuh aspek kesiapan hidup berumah tangga, terutama dalam mengelola keuangan, emosi, dan menyelesaikan konflik,” tambahnya.

Selain itu, kehadiran lembaga konsultasi keluarga juga diperlukan untuk memberikan ruang konsultasi sebelum pasangan memutuskan bercerai. Konsultasi semacam ini dapat menjadi jembatan komunikasi antara pasangan yang tengah berselisih.

Angka perceraian yang tinggi di Kabupaten Probolinggo selama paruh pertama tahun 2025 menjadi cerminan kompleksitas tantangan dalam institusi pernikahan. Faktor ekonomi, perselisihan berkepanjangan, ketidaksepemahaman, dan kehadiran pihak ketiga menjadi akar masalah yang harus ditangani dengan pendekatan multi-sektoral. (Duh/Aye)

Tags:

You Might also Like

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *