Berpikir Kritis di Era Post Truth: Menolak Populisme Media Sosial
Share

SUARAGONG.COM – Hari ini, kita hidup dalam dunia yang disebut oleh banyak filsuf dan ilmuwan sosial sebagai era post truth. Sebuah masa ketika fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi.
Baca Juga: Kenapa IQ dan EQ harus Seimbang?
Ini bukan sekadar masalah informasi yang simpang siur, tetapi juga soal bagaimana manusia modern kehilangan arah dalam memilah mana realitas, mana propaganda.
Mengapa Era Post-Truth Membahayakan Kesadaran Kolektif
Era post-truth bukan sekadar fenomena media. Ia adalah simptom dari krisis epistemologis, keraguan terhadap otoritas pengetahuan, pencampuradukan antara opini dan kebenaran.
Serta lemahnya daya tahan masyarakat terhadap narasi yang menggoda emosi. Dari teori konspirasi yang menyebar di grup WhatsApp keluarga, hingga opini publik yang digiring oleh headline provokatif, kita kini lebih percaya pada apa yang ingin kita dengar ketimbang pada apa yang benar.
Media sosial adalah lahan subur bagi bias kognitif. Algoritma memperkuat “echo chamber”, di mana kita hanya disodori informasi yang sesuai dengan pandangan kita.
Ketika kita merasa “semua orang setuju dengan saya”, maka kritik dianggap serangan, dan mereka yang berbeda pendapat langsung diberi label: kafir, komunis, SJW, intoleran, liberal, atau bahkan buzzer.
Inilah saat ketika populisme berkembang pesat: pemimpin politik dan figur publik memanfaatkan emosi ketakutan dan kemarahan, lalu membungkusnya dengan jargon-jargon sederhana yang memicu insting kelompok, bukan nalar. Dalam kondisi seperti ini, berpikir kritis bukan lagi pilihan moral, tapi kebutuhan vital untuk tetap waras dan bermartabat.
Cara Berpikir Kritis menurut Paus Leo XIV (Robert Prevost, OSA)
Dalam sebuah wawancara video yang diunggah oleh akun Instagram @auxtas, Kardinal Robert Prevost OSA, yang kini menjabat sebagai Paus Leo XIV, menyampaikan pendekatan yang mendalam mengenai berpikir kritis.
Baginya, berpikir kritis adalah dialog antara akal dan hati. Ia bukan hanya soal meragukan, tetapi juga soal memahami. Leo XIV mengatakan bahwa orang yang berpikir kritis adalah orang yang mampu mendengarkan secara mendalam. Membuka diri terhadap pandangan lain, dan mengolahnya dengan integritas nurani.
“It’s not enough to think rationally. You need to think compassionately. True critical thinking is not just about proving others wrong—it’s about seeking the deeper truth with humility,” Paus Leo XIV
Dari pernyataan ini, kita bisa belajar tiga prinsip dasar berpikir kritis versi Leo XIV.
-
Kerendahan hati intelektual: Bersedia menerima bahwa bisa jadi kita salah, dan orang lain benar. Ini sulit di tengah budaya digital yang selalu menuntut kita tampil paling tahu.
-
Empati dalam penalaran: Tidak menelan mentah-mentah argumen lawan, tetapi mencoba memahami mengapa seseorang berpikir demikian, latar belakangnya, ketakutannya, dan motivasinya.
-
Integrasi akal dan hati: Kritis bukan berarti sinis. Ia menolak fanatisme, namun tidak membuang nilai-nilai moral dan kepekaan sosial.
Dengan pendekatan ini, Leo XIV menawarkan model berpikir kritis yang transenden namun membumi. Bukan hanya cocok untuk kaum akademisi, tapi juga bisa dipraktikkan oleh siapa saja, termasuk mereka yang hanya membaca berita lewat Twitter atau YouTube Shorts.
Menolak Polarisasi: Menjadi Netral Bukan Berarti Tidak Peduli
Salah satu jebakan di era media sosial adalah tuntutan untuk selalu berpihak secara ekstrem. Jika kamu tidak mendukung A, maka pasti kamu pendukung B.
Jika kamu diam, berarti kamu tidak peduli. Ini adalah logika biner yang mempersempit cara pandang kita terhadap realitas yang jauh lebih kompleks.
Padahal, berpikir kritis seringkali mengharuskan kita berada di zona abu-abu. Tidak semua isu bisa disederhanakan menjadi “yang benar dan yang salah”. Terkadang, bersikap netral dan mendengarkan dua sisi adalah bentuk keberpihakan pada kebenaran itu sendiri.
Sebagaimana dikatakan oleh Paus Leo XIV, sikap kritis sejati bukan menolak untuk mengambil posisi, tetapi menunda keputusan sampai kita benar-benar memahami duduk persoalannya.
Menuju Masyarakat yang Lebih Cerdas Emosional dan Rasional
Di tengah derasnya arus informasi dan disinformasi, kemampuan berpikir kritis adalah senjata untuk bertahan hidup secara mental dan spiritual. Ia melindungi kita dari manipulasi, membantu kita membedakan opini dari propaganda, dan menjadikan kita warga negara yang lebih sadar.
Mari kita mulai dari hal sederhana: belajar mendengarkan tanpa langsung membalas, membaca sebelum membagikan, dan bertanya sebelum menyimpulkan.
Karena di zaman ketika semua orang ingin “benar”, menjadi orang yang ingin mengerti adalah tindakan yang paling radikal. (PGN)
Baca Juga Artikel Berita Lain dari Suaragong di Google News