Bupati Trenggalek Keluarkan SE Penggunaan Sound Horeg
Share

SUARAGONG.COM – Pemerintah Kabupaten Trenggalek akhirnya merespons keresahan masyarakat terkait sound system berdaya besar atau sound horeg. Pemkab Trenggalek kini memberlakukan aturan ketat penggunaan sound system melalui Surat Edaran (SE) Bupati Trenggalek Nomor 797 Tahun 2025.
Bupati Trenggalek Keluarkan SE Penggunaan Sound Horeg, Simak Ketentuannya
Kepala Satpol-PPK Trenggalek Habib Solehudin mengatakan aturan ini berlaku untuk semua kegiatan masyarakat, termasuk perayaan Hari Besar Nasional (PHBN) di bulan Agustus, dengan mewajibkan kepatuhan terhadap batas suara dan jenis perangkat pengeras yang digunakan.
“Semua kegiatan yang menggunakan sound system, termasuk karnaval PHBN, wajib menyesuaikan dengan pedoman yang ada,” ungkapnya saat dikonfirmasi, Jum’at (18/07/2025).
Ia juga menjelaskan, SE yang terbit pada 16 Mei 2025 ini secara langsung menyasar praktik penggunaan sound system ekstrem atau sound horeg. Praktik ini kerap memicu gangguan sosial, mulai dari mengganggu waktu istirahat dan ibadah, hingga menyebabkan kerusakan fasilitas umum akibat truk pengangkut sound yang overdimensi.
“Pemerintah menerbitkan SE ini sebagai upaya menjaga keseimbangan antara hak berekspresi dan hak masyarakat untuk hidup tenang,” tegas Habib.
Baca Juga : MUI Kabupaten Malang Tanggapi Polemik Sound Horeg ‘Haram’
Ketentuan Sound Horeg di Trenggalek
Adapun ketentuan lengkap penggunaan sound system di Trenggalek berdasarkan Surat Edaran Bupati diantaranya :
- – Perizinan Wajib dan Proses Pengajuan Kegiatan skala kabupaten memerlukan izin dari Polres.
- – Kegiatan skala kecamatan wajib mengantongi izin dari Polsek, yang harus dilengkapi dengan rekomendasi dari kepala desa atau lurah setempat.
- – Permohonan izin harus diajukan minimal 14 hari kerja sebelum acara berlangsung, sesuai dengan PP No. 60 Tahun 2017.
Batas Waktu Penggunaan dan Norma Konten
- – Sound system hanya boleh digunakan antara pukul 00 hingga 22.00 WIB.
- – Wajib menghentikan penggunaan sementara saat azan berkumandang.
- – Dilarang memutar konten yang bermuatan SARA, ujaran kebencian, atau menghina pihak lain.
- – Batasan Tingkat Kebisingan (Volume Suara Maksimal) 55 dB di area permukiman, 60 dB di area fasilitas umum atau pemerintahan.
- – Wajib mengecilkan atau mematikan volume di sekolah (saat jam belajar), rumah sakit, dan tempat ibadah.
Batas Jumlah dan Dimensi Perangkat
- – Maksimal 6 subwoofer untuk kegiatan di jalan umum atau permukiman.
- – Maksimal 8 subwoofer atau 16 speaker untuk kegiatan di lapangan terbuka.
- – Dimensi perangkat tidak boleh melebihi ukuran kendaraan pengangkutnya.
Batasan Daya Listrik Sound System
- – Di lapangan: 000–80.000 Watt.
- – Di kendaraan: 000–10.000 Watt.
Tanggung Jawab Penyelenggara dan Aparat Wilayah
- – Penyelenggara bertanggung jawab penuh atas keamanan, ketertiban, serta segala kerugian, baik materiil maupun nonmateriil.
- – Kerusakan fasilitas umum, seperti jembatan, pagar, hingga genteng rumah warga, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penyelenggara.
- – Camat dan kepala desa wajib ikut menjaga kondusifitas wilayah dengan berkoordinasi bersama tiga pilar (TNI, Polri, dan Pemerintah Desa).
Keluhan dari Masyarakat
Kebijakan ini hadir sebagai respons terhadap fenomena sound horeg yang semakin marak sebagai tren hiburan jalanan. Sayangnya, banyak warga mengeluh karena suara keras ini tidak mengenal waktu dan tempat, bahkan beberapa kejadian sempat memicu ketegangan antarwarga.
“Berdasarkan pengukuran desibel, batasannya adalah 55 desibel untuk area permukiman dan 60 desibel untuk fasilitas umum. Namun, karena alat pengukur desibel masih terbatas, masyarakat dapat berpedoman pada jumlah subwoofer,” terangnya.
Dengan regulasi ini, Pemkab Trenggalek berharap masyarakat dapat terus berkegiatan tanpa menimbulkan gangguan sosial. Hiburan memang penting, tetapi harus tetap mematuhi batasan yang telah ditetapkan.
Satpol PP dan Damkar Trenggalek membuka saluran pengaduan khusus untuk mengawal implementasi SE ini. Warga yang merasa terganggu dapat menyampaikan laporan langsung ke unit pengaduan Satpol PP, atau melalui perangkat desa dan kecamatan masing-masing.
“Kepala desa dan camat juga punya tanggung jawab atas penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban. Jadi, aduan bisa di sampaikan mulai dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten,” pungkas Habib. (mil/aye)