Kebijakan ini menimbulkan beragam reaksi, terutama karena situasi ekonomi yang masih belum sepenuhnya stabil. Masyarakat menyoroti daya beli yang melemah, yang bahkan tercermin dari angka deflasi pada tahun 2024. Kenaikan PPN sebesar 1% dianggap sebagai tambahan beban bagi rumah tangga dan pelaku usaha yang masih berjuang menghadapi dampak ekonomi dari berbagai gejolak tahun ini.
Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 2025 terus menuai kritik dari berbagai pihak. Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, bahkan secara terbuka meminta agar kebijakan ini dikaji ulang, mengingat potensi kontradiksi antara peningkatan pajak dan upaya menyejahterakan rakyat. Cucun menilai, kenaikan PPN dapat menjadi beban tambahan bagi masyarakat yang saat ini masih berjuang dengan kondisi ekonomi yang sulit.
Baca juga : Tiket Pesawat Berpotensi Turun Menyambut Liburan Akhir Tahun
Tumpukan Beban Pajak dan Pungutan Baru
Kenaikan PPN bukan satu-satunya kebijakan yang diproyeksikan membebani masyarakat. Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), ada 10 pungutan lain yang berpotensi naik pada 2025. Di antaranya adalah:
- Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera),
- Cukai barang tertentu,
- BPJS Kesehatan,
- Pajak Penghasilan (PPh) UMKM,
- Pembatasan subsidi BBM, dan
- Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Dari sejumlah pungutan tersebut, beberapa menuai sorotan tajam, seperti Tapera, yang dianggap memaksa masyarakat menabung tanpa kejelasan manfaat.
Dampak bagi Kelas Menengah dan UMKM
Kelas menengah diprediksi menjadi pihak yang paling tertekan oleh kebijakan ini. Kelompok ini sering kali dianggap tidak layak menerima bantuan sosial, namun juga tidak cukup mapan untuk dengan mudah menyerap beban tambahan seperti kenaikan PPN. Akibatnya, daya beli berpotensi menurun, yang berdampak langsung pada konsumsi domestik, terutama terhadap produk dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Dalam skenario terburuk, melambatnya perputaran ekonomi bisa memicu masyarakat untuk mengurangi tabungan atau bahkan meningkatkan pinjaman, menciptakan efek domino yang memperlambat pemulihan ekonomi secara keseluruhan.
baca juga : Sri Mulyani Pastikan PPN Naik Jadi 12% pada 2025
Urgensi Evaluasi dan Perspektif Publik
Meskipun pemerintah berdalih kenaikan PPN diperlukan untuk menjaga kesehatan fiskal, kritik publik menyoroti minimnya pertimbangan terhadap situasi ekonomi riil masyarakat. Diskusi di ruang publik dan media sosial memperlihatkan kecemasan kolektif, terutama karena masyarakat khawatir bahwa kebijakan ini akan lebih memberatkan dibandingkan memberikan manfaat nyata.
Dengan berbagai kritik yang bermunculan, pemerintah perlu menjelaskan urgensi dan dampak positif kebijakan ini secara transparan. Jika tidak, kebijakan kenaikan PPN ini berisiko memperburuk kondisi sosial-ekonomi, alih-alih memperbaikinya. (acs)
Baca berita terupdate kami lainnya melalui google news