Dewan Kesenian Kota Probolinggo Terbelah, Legalitas Mandiri dan SK Wali Kota
Share

SUARAGONG.COM – Dunia kesenian di Kota Probolinggo lagi ramai diperbincangkan. Bukan soal pentas atau festival, tapi karena adanya dua kubu organisasi kesenian yang sama-sama mengklaim sebagai Dewan Kesenian Kota Probolinggo.
Dewan Kesenian Kota Probolinggo Terbelah
Satu pihak mengusung nama DKKPro, organisasi yang sudah eksis sejak 2001 dan punya legalitas hukum resmi dari Kemenkumham. Sementara satu pihak lagi adalah kelompok baru yang berupaya membentuk dewan kesenian versi mereka sendiri, kali ini berbasis Surat Keputusan (SK) dari Wali Kota.
DKKPro: Mandiri dengan Badan Hukum
DKKPro berdiri sejak dua dekade lalu, dulunya berada di bawah naungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Sampai 2013, DKKPro rutin menerima SK Wali Kota sebagai pengakuan resmi. Tapi setelah itu, SK tak lagi terbit karena Bagian Hukum Pemkot menyatakan tidak ada dasar hukumnya.
DKKPro akhirnya memilih jalan mandiri. Mereka mengurus legalitas lewat Akta Hukum Umum (AHU) dari Kemenkumham. Sejak itu, DKKPro tetap aktif menggelar kegiatan seni secara swadaya, tanpa dukungan dana hibah rutin dari pemerintah. Hibah terakhir yang mereka terima dari Pemkot tercatat pada 2018.
Meski tanpa dana pemerintah, semangat berkesenian tak surut. Para pelaku seni di komunitas ini bahkan iuran dan urunan untuk membiayai kegiatan seni tahunan. Semua murni inisiatif bersama.
Kubu Baru: Minta SK Wali Kota untuk Akses Resmi
Berbeda dengan DKKPro, sekelompok seniman yang merasa tidak terwakili mencoba membentuk dewan kesenian baru. Mereka ingin legitimasi langsung dari Wali Kota lewat penerbitan SK, seperti yang umum dilakukan di daerah lain.
Alasannya? Supaya organisasi kesenian ini punya akses lebih kuat ke program dan pendanaan pemerintah. Dengan SK resmi, mereka berharap ada jembatan yang lebih kuat antara dunia seni dan kebijakan daerah.
Dua Pendekatan, Satu Tujuan
Meskipun berbeda jalur legalitas, keduanya mengaku punya niat yang sama: memajukan kesenian lokal. DKKPro dengan pendekatan mandiri berbadan hukum, sedangkan kubu baru berharap pada penguatan hubungan dengan Pemkot lewat jalur administrasi formal.
Perbedaan ini memperlihatkan semangat yang tinggi dari komunitas seni, sekaligus menunjukkan tantangan dalam membangun sinergi antara seniman dan pemerintah.
Pertanyaan untuk Pemkot: Di Mana Peran Negara?
Sejak 2013, tak ada SK baru untuk DKKPro dan tak ada bantuan hibah yang mengalir lagi. Namun anehnya, tak banyak yang menggugat kondisi ini. Seolah peran pemerintah dalam mendukung kesenian jadi abu-abu.
Padahal, ketika komunitas seni bisa bertahan sendiri tanpa bantuan negara, itu bisa dibaca dua sisi: hebat karena mandiri, atau miris karena tak diperhatikan.
Ke depan, semangat kebudayaan Kota Probolinggo sebaiknya tak hanya ditopang oleh komunitas, tapi juga perlu didukung penuh oleh kebijakan yang berpihak pada ekosistem seni. (Aye/sg)