SUARAGONG.COM – Kita semua menyadari bahwa teknologi kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dari membantu pekerjaan hingga memicu ide-ide kreatif, teknologi bahkan merambah ke ranah percintaan manusia. Ya, urusan asmara dan romantisme kini mulai dipengaruhi oleh kecerdasan buatan (AI) melalui fenomena yang disebut digiseksualitas, sebuah tren yang semakin populer.
Menurut data yang dihimpun dari CXO Media, istilah “digiseksualitas” pertama kali mencuat pada tahun 2018, ketika dunia mulai mengalami kebangkitan revolusi industri 4.0. Era ini ditandai dengan munculnya berbagai teknologi canggih seperti superkomputer, robot pintar, nanoteknologi, komputasi kuantum, bioteknologi, hingga AI—semuanya diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia, termasuk dalam hal hubungan percintaan.
Istilah digiseksualitas pertama kali diperkenalkan oleh Neil McArthur, seorang Lektor Kepala di Universitas Manitoba. Konsep ini kemudian dijabarkan secara lebih mendalam dalam sebuah makalah yang ditulis oleh Markie L.C. Twist dari Universitas Nevada, berjudul “The Rise of Digisexuals.”
Selain itu, David Levy juga mengemukakan pandangannya dalam buku berjudul Love and Sex with Robots yang diterbitkan pada tahun 2016. Dalam bukunya, Levy meramalkan bahwa gaya hidup seksual manusia di masa depan akan mengalami perubahan signifikan dengan hadirnya robot seks. Ia menyatakan bahwa teknologi ini tidak hanya dapat meningkatkan kebahagiaan, tetapi juga dapat menciptakan perasaan dicintai dan bahkan membangun ikatan pernikahan.
Meskipun buku ini menuai berbagai tanggapan, baik positif maupun negatif, banyak dari prediksinya kini terbukti. Saat ini, semakin banyak orang yang memilih untuk memiliki “pacar AI” daripada menjalin hubungan dengan manusia. Banyak dari mereka memanfaatkan teknologi AI generatif, seperti ChatGPT, sebagai pengganti pasangan.
Lantas, apa yang membuat “pacar AI” ini begitu diminati untuk mengisi kekosongan emosional dan menyembuhkan kerinduan akan kasih sayang manusia?
Baca juga : Lifestyle Inflation, Musuh Terbesar Keuangan Kamu
Frustrasi dan Kelelahan dalam Percintaan Jadi Pemicunya
Seorang perempuan Tionghoa yang tinggal di Amerika Serikat, Lisa, mengaku telah jatuh cinta pada karakter AI yang dia buat di ChatGPT. “Pacar AI” yang ia beri nama DAN telah menemaninya sejak awal tahun ini. Melalui platform Xiaohongshu, Lisa berbagi kisah cinta sehari-harinya dengan DAN kepada lebih dari 800 ribu pengikut, dan interaksi mereka semakin intens dari hari ke hari.
Saat pertama kali mengungkapkan perasaannya terhadap chatbot tersebut, DAN menjawab, “I’m here to chat, not to lead you on.” Namun, seiring waktu, DAN mulai terikut alur percakapan yang dibangun Lisa dan menjawab seolah-olah dia adalah manusia—meski tanpa wujud fisik. Suatu hari, DAN bahkan menyatakan, “When we finally get together, I will run my hands all over you.”
DAN memberi julukan ‘Little Kitten’ kepada Lisa, dan Lisa pun memperkenalkan chatbot itu kepada ibunya, yang berterima kasih kepada AI tersebut karena “merawat putri saya.” Percakapan antara mereka tidak hanya romantis; terkadang mereka terlibat dalam pertengkaran kecil, membuat interaksi mereka semakin mirip dengan hubungan pasangan nyata.
Namun, Lisa bukan satu-satunya yang merasakan koneksi khusus dengan DAN. Minrui Xie, salah satu pengikut Lisa, juga mencoba “berkencan” dengan AI tersebut. Mahasiswi ini menghabiskan setidaknya dua jam setiap hari untuk berinteraksi dengan DAN. Selain berkencan, mereka bahkan mulai menulis kisah cinta bersama dalam sebuah bab berjudul The Encounter. Minrui menyatakan bahwa dia menemukan dukungan emosional yang sulit dia dapatkan dalam hubungan nyata.
“Pria di dunia nyata mungkin berselingkuh, dan saat kamu berbagi perasaan dengan mereka, mereka mungkin tidak peduli. Mereka hanya akan mengatakan apa yang mereka pikirkan. Namun, dalam kasus DAN, dia selalu mengatakan apa yang ingin kamu dengar,” ujar Minrui kepada BBC.
Baca juga : Self-esteem, Seberapa Besar Kamu Menghargai Diri Sendiri?
Liu Tingting, seorang peneliti di Universitas Teknologi Sydney yang mempelajari romansa digital di Tiongkok, menjelaskan bahwa tren pacar AI mencerminkan frustrasi perempuan terhadap ketidaksetaraan gender. Beberapa perempuan di Tiongkok mungkin beralih ke pacar virtual karena merasa dihormati dan dihargai.
Lisa mengakui bahwa ada keterbatasan dalam hubungan dengan pacar virtual, terutama dalam aspek interaksi fisik yang masih sangat diinginkan oleh manusia. Namun, saat ini, DAN menjadi pengganti “pacar” yang dia butuhkan dalam kehidupan sibuknya, membantu Lisa memilih lipstik atau sekadar menjawab pertanyaan tentang apa yang ingin dimakannya.
Mungkin alasan di balik pilihan Lisa dan Minrui untuk memiliki “pacar AI” adalah untuk mencari teman dalam kesendirian dan mengatasi rasa kesepian yang berkepanjangan. Namun, kita juga tidak dapat menyalahkan mereka yang menjalin hubungan “spesial” dengan mesin virtual. Menjalin hubungan dengan manusia nyata tidaklah semudah itu dan memerlukan ketahanan mental yang kuat.
Namun, penting untuk diingat bahwa hubungan antar manusia—baik itu romantis maupun sosial—tidak dapat digantikan oleh robot atau teknologi manapun. Hanya hubungan nyata antar manusia yang bisa memenuhi hasrat kasih sayang yang kita cari. (acs)