Dilema Program MBG, Dosen FISIP UB Nilai Perlu Evaluasi dan Transparansi
Share

SUARAGONG.COM – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu andalan pemerintah pusat kini kembali menjadi sorotan publik. Setelah munculnya sejumlah kasus keracunan massal di beberapa daerah, banyak pihak menilai pelaksanaan program ini perlu dievaluasi secara menyeluruh dan transparan agar tidak melenceng dari tujuan awalnya.
Dosen FISIP UB Nilai Tekankan Evaluasi dan Transparansi Program MBG
Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya, Tia Subekti, S.IP., MA., menilai bahwa meskipun secara konsep MBG membawa misi mulia, pelaksanaannya di lapangan masih menghadapi berbagai kendala teknis dan administratif.
“Program ini sejak awal menuai pro dan kontra. Tujuannya sangat baik — memperbaiki kondisi gizi masyarakat, menekan angka kematian, serta meningkatkan kesejahteraan sosial, khususnya anak-anak dan kelompok rentan. Namun, yang perlu dicek kembali adalah bagaimana implementasinya, apakah sudah sesuai dengan standar dan sasaran yang diharapkan,” ujar Tia, Kamis (2/10).
Menurutnya, evaluasi terhadap program MBG tidak cukup dilakukan secara administratif, tetapi juga harus menyentuh aspek kualitas pelaksanaan. Ada tiga indikator penting yang perlu diperhatikan: efektivitas, efisiensi, dan ketepatan sasaran.
“Apakah benar program ini berhasil meningkatkan status gizi anak-anak penerima manfaat? Apakah angka stunting menurun signifikan?” ujarnya. Selain itu, dengan alokasi dana yang besar, pemerintah juga perlu memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan memberi dampak nyata bagi masyarakat.
Baca Juga : Dukung Percepatan Program MBG, Wali Kota Eri Cahyadi Bentuk Satgas
Pemerataan dan Pengawasan Jadi Tantangan
Lebih lanjut, Tia menyoroti aspek pemerataan dan pengawasan yang dinilainya masih menjadi titik lemah. Berdasarkan pengamatannya, pelaksanaan MBG di sejumlah daerah kerap terkendala karena pihak penyedia dan pelaksana lapangan belum sepenuhnya kompeten. Akibatnya, kualitas makanan yang disalurkan tidak sesuai standar gizi, bahkan dalam beberapa kasus memicu keracunan massal.
“Masalahnya sering kali ada di rantai pelaksana. Mulai dari penyedia bahan, katering, hingga pengawasan di lapangan. Jika tidak ada kontrol ketat, potensi penyimpangan dan penurunan kualitas sangat besar,” tegasnya.
Meski demikian, Tia menilai program MBG tidak seharusnya dihentikan. Menurutnya, pemerintah telah melakukan investasi besar dari sisi anggaran, kelembagaan, hingga sumber daya manusia.
“Pemerintah sudah membentuk badan khusus dan menggelontorkan dana besar. Kalau dihentikan mendadak, justru menimbulkan ketidakefisienan baru,” jelasnya.
Sebagai solusi, Tia merekomendasikan evaluasi berkelanjutan dan pembentukan tim pengawasan independen yang melibatkan akademisi, ahli gizi, serta masyarakat sipil untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas program MBG di setiap daerah. (fat/Aye)