Fakta Banjir Bali: Hanya ada 3 Persen Pohon di Wilayah Bencana
Share

SUARAGONG.COM – Banjir besar yang melanda Bali pekan lalu kembali membuka mata banyak pihak soal fakta bahwa rapuhnya daya dukung lingkungan di Pulau Dewata. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan bahwa mitigasi bencana tidak bisa lagi ditunda, terutama karena kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ayung yang kian kritis.
Fakta Bencana Banjir di Bali: Hanya 3 Persen Pohon di Wilayah Bencana
Hal itu ia sampaikan usai rapat koordinasi evaluasi bencana banjir di Rumah Jabatan Gubernur, Jaya Sabha, Denpasar, Sabtu (13/9/2025) malam. Hadir pula Gubernur Bali Wayan Koster serta jajaran Forkopimda.
Menurut Hanif, dari total luas 49.500 hektare DAS Ayung, hanya sekitar 1.500 hektare atau 3 persen yang masih memiliki tutupan hutan. Padahal secara ekologis, minimal 30 persen wilayah DAS seharusnya berhutan agar mampu menjaga ekosistem di bawahnya.
“DAS Ayung ini menopang wilayah Denpasar, Badung, Gianyar, hingga Tabanan. Kondisi saat ini jelas rawan. Tadi Bapak Gubernur juga agak kaget ketika mendengar angkanya,” ujar Hanif.
Baca Juga : 4 Daerah di Bali Kini Berstatus Tanggap Darurat Banjir
Hujan Sehari Setara 121 Juta Meter Kubik Air
Banjir yang terjadi 9 September 2025 disebut sebagai akibat langsung dari curah hujan ekstrem. Data mencatat intensitas hujan mencapai 245,75 mm dalam sehari. “Artinya, dalam satu meter persegi tanah, turun hampir 1 drum atau 245 liter air. Jika dihitung secara total, maka di DAS Ayung saat itu ada 121 juta meter kubik air yang turun,” jelas Hanif.
Namun, kondisi kritis DAS diperparah dengan minimnya tutupan hutan, sedimentasi sungai, serta timbunan sampah yang menghambat aliran air. Alhasil, daya serap tanah menjadi sangat rendah.
“Upaya serius untuk membangun sistem pengelolaan sampah di hulu hingga hilir tidak bisa lagi ditunda. Ini harus segera dilakukan,” tegasnya.
Alih Fungsi Lahan Memperburuk Situasi
Selain faktor cuaca, Menteri juga menyoroti alih fungsi lahan di Bali yang terus terjadi dalam satu dekade terakhir. Dari 2015 hingga 2024, tercatat 459 hektare hutan berubah menjadi non-hutan.
“459 hektare mungkin kecil untuk pulau lain, tetapi untuk Bali sangat berarti. Apalagi sisa hutan hanya 1.500 hektare,” ungkap Hanif.
Atas kondisi ini, ia meminta agar Pemerintah Provinsi Bali segera menetapkan moratorium konversi lahan untuk pembangunan baru. Menurutnya, pembangunan vila, cottage, maupun gedung lain yang mengganggu daerah resapan air harus dihentikan sementara.
“Bali sudah tidak cukup kuat menahan tekanan alam. Jadi yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan gedung atau infrastruktur yang ada, tanpa lagi memperluas area pembangunan,” katanya.
Harapan untuk Bali yang Lebih Resilien
Hanif menekankan, langkah untuk mengembalikan fungsi lanskap dan memperkuat ketahanan bencana harus segera dilakukan. Ia menaruh harapan besar agar pemerintah daerah berani mengambil keputusan tegas, meski berhadapan dengan kepentingan investasi dan pariwisata.
“Saya sangat berharap tidak ada lagi konversi lahan di Bali. Penting sekali ini, supaya kita bisa menjaga masa depan pulau yang punya nilai ekologis sekaligus budaya yang luar biasa,” pungkasnya. (Aye/sg)