SUARAGONG.COM – Ketika membuka aplikasi TikTok, tak jarang kita menemukan konten sensual yang menarik perhatian dengan jumlah penonton yang fantastis. Saat melihat kolom komentar, sering kali kita tidak menemukan komentar yang bersifat edukatif. Kita mungkin juga pernah melihat kreator hijab yang setelah mendapatkan banyak pengikut justru memilih untuk membuka hijab dan membuat konten yang terkesan sensual. Jika kita mengecek aplikasi seperti X atau Twitter, kita dapat melihat berita tren, termasuk layanan open BO, terutama jika mencarinya di malam hari.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa konten sensual tampaknya semakin menjamur dan banyak perempuan yang terlibat dalam pembuatan konten semacam itu? Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sekitar 66,6% anak laki-laki dan 62,3% anak perempuan mengakses pornografi melalui media online. Survei yang dilakukan oleh Kemenkes pada 2017 menunjukkan bahwa 94% siswa pernah mengakses konten pornografi, dengan 54%-nya melalui media sosial. Meskipun banyak situs yang menyediakan konten seksual telah diblokir di Indonesia, akses ke situs tersebut masih bisa dilakukan dengan berbagai cara.
Konten sensual yang beredar di media sosial biasanya menampilkan bagian tubuh secara provokatif dengan kata-kata yang menarik perhatian secara seksual. Ironisnya, banyak anak di bawah umur yang membuat konten semacam ini. Peningkatan konten dewasa di media sosial terlihat jelas, terutama dalam lima tahun terakhir, seiring dengan perkembangan TikTok. Tren berjoget yang muncul dari platform ini sering kali melibatkan penampilan seksi, meski tidak semua konten seperti itu. Sejak kehadiran TikTok, jumlah konten sensual meningkat secara signifikan, dengan banyak wajah baru yang muncul dan mendapatkan banyak pengikut.
Baca juga : No Bra Day, Kesadaran Terhadap Kesehatan Payudara
Kenapa Orang Menonton Konten Sensual?
Kekhawatiran muncul ketika anak-anak mulai mengonsumsi konten tersebut, yang berpotensi mengarah pada aktivitas seksual, baik secara online maupun offline. Apa yang menarik orang untuk menonton konten sensual? Kecenderungan manusia untuk tertarik pada sensualitas adalah hal yang alami. Kita adalah makhluk visual, dan dari sudut pandang evolusi, penampilan fisik sering menjadi faktor penting dalam menentukan pasangan. Dalam konteks media sosial, konten sensual mudah diakses dan ringkas, membuatnya menarik bagi banyak orang, meski banyak yang menontonnya hanya untuk hiburan.
Dari sudut pandang psikologis, ada istilah “hedonic adaptation,” di mana otak kita mencari hal-hal yang memberikan kepuasan instan. Menonton video dengan elemen sensual dapat memberikan dosis dopamin, hormon yang membuat kita merasa bahagia. Selain itu, ada juga faktor FOMO (fear of missing out) di mana konten sensual sering kali dikaitkan dengan tren terkini, mendorong orang untuk ikut serta, baik sebagai penonton maupun sebagai kreator.
Mengapa perempuan suka membuat konten sensual? Ini adalah pertanyaan yang kompleks. Tidak semua perempuan melakukan hal ini karena alasan yang sama. Beberapa mungkin menikmati ekspresi diri dan merasa percaya diri dengan tubuh mereka. Di sisi lain, ada yang melakukannya karena menyadari bahwa konten seperti ini memiliki peluang besar untuk viral di media sosial. Angka pengikut yang tinggi menjadi aset berharga yang dapat membuka berbagai peluang, seperti endorsement dan pekerjaan profesional. Konten sensual sering kali menarik perhatian lebih cepat, menjadikannya jalur pintas untuk mendapatkan ketenaran.
Dinamika sosial dan ekonomi juga berperan dalam fenomena ini. Dalam masyarakat patriarki, tubuh perempuan sering kali dipandang sebagai objek. Namun, ketika perempuan menggunakan tubuh mereka di media sosial, mereka bisa beralih dari objek menjadi aktor yang aktif menampilkan diri. Meskipun ini memberi mereka kekuatan, mereka juga bisa terjebak dalam ekspektasi sosial tentang bagaimana seharusnya perempuan tampil.
Konten sensual di TikTok tidak terlepas dari pengaruh budaya pop dan kapitalisme. Dalam era di mana seksualitas dijual dalam hampir semua produk, media sosial menjadi perpanjangan dari ekosistem ini. Budaya pop sering kali merayakan perempuan dengan daya tarik seksual, dan kreator di TikTok mengikuti jejak ini. Kapitalisme juga berperan, dengan platform seperti TikTok mendorong konten yang memicu interaksi tinggi. Konten sensual cenderung mendapatkan banyak perhatian, dan algoritma platform lebih sering merekomendasikannya, menciptakan siklus yang tak terputus.
Baca juga : TikTok PHK Ratusan Pekerja: AI Gantikan Peran Manusia dalam Moderasi Konten
Sex Sells
Prinsip “sex sells” juga berlaku di media sosial. Daya tarik seksual seringkali dapat meningkatkan popularitas atau penjualan produk. Dalam konteks modern, individu dan perusahaan mengadopsi prinsip ini untuk menarik perhatian. Platform seperti TikTok dan Instagram menjadi lahan subur bagi konten sensual, yang tidak hanya dibuat oleh selebriti tetapi juga oleh kreator individu yang menyadari bahwa menonjolkan unsur sensual dapat meningkatkan jangkauan dan interaksi.
Namun, penerapan prinsip ini membawa dampak luas. Banyak kreator merasa bahwa konten sensual adalah cara untuk mengekspresikan diri, tetapi mereka juga bisa terjebak dalam ekspektasi pasar digital yang mengharuskan mereka terus tampil provokatif untuk tetap relevan. Ini menjadi medan yang rumit, karena mereka sering dipuji sekaligus dikritik dalam konteks yang sama, mencerminkan standar ganda terkait tubuh perempuan di ruang publik.
Fenomena konten sensual di media sosial adalah cerminan dari berbagai dinamika sosial, ekonomi, psikologis, dan budaya. Baik penonton maupun kreator terlibat dalam siklus ini. Meskipun ada yang diuntungkan, tekanan sosial dan algoritma juga mempengaruhi pilihan banyak kreator. Konsekuensi buruknya tentu dirasakan oleh anak-anak yang belum memiliki kontrol atas keputusan mereka, banyak di antaranya menjadi pelaku pelecehan seksual di usia dini.
Akhirnya, fenomena ini kemungkinan besar akan terus berlanjut selama media sosial dan tren budaya pop mendukungnya. Namun, penting bagi kita sebagai pengguna media sosial untuk lebih kritis terhadap apa yang kita konsumsi dan bagikan. Media sosial seharusnya menjadi ruang ekspresi yang bebas, tetapi kita juga perlu menjaga agar tidak terjebak dalam standar atau harapan yang membatasi. Konten sensual adalah salah satu dari banyak tren di media sosial, tetapi ini membuka diskusi tentang kriminalitas, isu sosial gender, dan kapitalisme di era digital. (acs)