Malang, Suaragong – Mau tidak mau, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Malang, menyepakati anggaran Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) 2024 di Kabupaten Malang senilai Rp 32,6 miliar. Walaupun pagu yang disediakan untuk pengawasan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang terbilang minim.
Bagaimana tidak, dari pengajuan awal dihitung menghabiskan dana senilai Rp37,4 miliar. Akan tetapi Pemkab Malang malah menurunkan anggaran menjadi Rp32,6 miliar. Alhasil, berbulan-bulan Bawaslu belum melakukan penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dengan Pemkab Malang.
“Kami sebenarnya tidak sepakat, tapi kemampuan Pemkab segitu,” kata Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Kabupaten Malang, Abdul Allam Amrullah saat dikonfirmasi belum lama ini.
Terpaksa, Bawaslu harus irit-irit anggaran. Dirinya menyebut akan mengedepankan yang menjadi prioritas. Sedangkan yang dinilai tidak urgen dikesampingkan. “Secukup-cukupnya, nanti akan kami bagi proporsional dengan ketersediaan anggaran. Mana yang prioritas, mana yang less prioritas, mana yang tidak prioritas, mungkin nanti kami mengerjakan yang sangat prioritas,” katanya.
Misalnya, yang paling pokok operasional pengadaan, belanja honor, gaji pegawai, operasional perkantoran, koordinasi dan penguatan kelembagaan terkait sumber daya manusia (SDM). Itu yang akan ia lakukan lebih maksimal. Supaya pengawasan lebih optimal.
Sedangkan less prioritas seperti, penguatan SDM, terkait bimtek-bimtek kelembagaan, kemudian koordinasi kerja tahapan. Itu kata Allam, harusnya lebih banyak dilakukan.
“Terus sosialisasi kepada masyarakat terkait pengawasan partisipatif itu juga hal yang penting,” katanya.
Tapi semua itu akan ia lakukan tergantung ketersediaan anggaran. Kemudian nanti dampaknya misalnya bimtek yang biasa dilakukan berkali-kali berubah menjadi sedikit, masih belum dipikirkan.
“Kami belum tau soal dampak, tapi kami punya tujuan untuk penguatan kinerja. Salah satunya penguatan kapasitas kelembagaan sumber daya manusia (SDM),” katanya.
“Optimalisasi misalnya, jika biasanya satu bulan dua kali, bisa satu bulan sekali, atau dua bulan sekali,” katanya.
Tapi yang paling penting adalah masalah pengawasan partisipatif di tingkat desa dan kecamatan. Karena sebelumnya pengawasan partisipatif jarang dilakukan lantaran Covid-19. Kemudian hari ini Pilkada dilakukan secara offline. Tentu membuat pemahaman pengawas akan terkendala.
“Secara langsung berdampak pada pemahaman teman-teman di tingkat teknis. Ada gap dalam pemahaman terkait proses atau teknis pengawasan tahapan. Sangat ril problematikanya,” pungkasnya. (nif/man)