Sg 3
Batu, Suaragong – Haul Mbah Mbatu menjadi perhatian khusus 19 kepala desa se Kota Batu berkumpul di Kompleks Makam Mbah Mbatu yang berada di Dusun Banaran, Desa Bumiaji, guna menghadiri Haul Mbah Mbatu yang di gelar mulai 27-28 Januari 2024.
Nampak para kepala desa mengarak tumpeng menuju area makam kemudian memanjatkan doa-doa dan ritual adat sebagai wujud syukur serta memohon keselamatan kepada Tuhan.Hal itu dilakukan karena dalam kepercayaan masyarakat Jawa Islam, para leluhur mendapat tempat di hati masyarakat. Apalagi Mbah Mbatu merupakan tokoh yang dipercaya sebagai penyebar agama Islam di Kota Batu.
Koordinator acara Edy Suyanto mengatakan dalam dua hari acara diisi dengan Selamatan sesuai adat-adat Jawa Islam serta hajatan. Kemudian penutup acara diisi pengajian akbar. “Mbah Mbatu merupakan tokoh penting berdirinya Kota Batu. Alasan kami menggelar Haul agar bisa menjadi pengingat masyarakat maupun generasi muda asal muasal Kota Batu dari Dusun Banaran ini,” kata Kepala Desa Bumiaji ini, Minggu 28 Januari 2024.
Sementara itu, Kepala Desa Pandanrejo, Abdul Manan mengatakan memang seharusnya warga Kota Batu tidak melupakan jasa besar Mbah Mbatu.”Berkat jasa-jasa leluhur kita bisa merasakan hari ini. Semoga dari Haul ini semua masyarakat Kota Batu selalu diberi keberkahan dalam segala hal,” ujarnya.
Kemudian, Ketua Asosiasi PEtinggi dan Lurah (APEL) Kota Batu, Wiweko menyampaikan bila Haul ini baru pertama kali digelar, harapannya ke depan bisa menjadi agenda rutin setiap tahun. “Haul ini sangat penting digelar agar warga Kota Batu tahu dan ingat cikal bakal mereka. Kami seluruh kepala desa mensuport kegiatan ini sebagai wujud uri-uri budaya dan budaya warisan leluhur. Paling penting agar para generasi muda tahu sejarah,” tutupnya.
Perlu diketahui, kompleks makam Mbah Mbatu cukup terkenal di masyarakat karena menyimpan empat jasad leluhur yang dipercaya sebagai tokoh babat alas atau pendiri Kota Batu.
Pada awalnya makam tersebut dikenal dengan sebutan Mbah Wastu atau Mbah Tuwo. Seiring perjalanan waktu nama itu berubah (disingkat) menjadi Mbatu atau Batu. Nama inilah yang kelak menjadi nama wilayah itu hingga sekarang.Hampir setiap hari makam Mbah Batu menjadi jujukan para peziarah dari Kota Batu maupun luar kota. Lama kelamaan tempat ini berkembang menjadi kawasan wisata religi yang dikelola pemerintah daerah.
Di dalamnya terdapat makam para leluhur yakni Dewi Condro Asmoro (Mbah Tu), Syekh Abul Ghonaim (Pangeran Rojoyo), Dewi Mutmainah, dan Kyai Naim. Masing-masing komplek makam ini diberi pagar pembatas dan kelambu putih.Untuk memfasilitasi peziarah, disediakan tempat beribadah secara khusus. Selain membaca bacaan doa, para peziarah juga kerap membakar dupa sebagai simbol kepercayaan masyarakat Jawa.
Berdasarkan kisah sejarah, sosok Mbah Wastu diceritakan sebagai Pangeran Rohjoyo atau Syekh Abul Ghonaim yang juga dikenal dengan nama Kiai Gubuk Angin. Nama itu dipakai untuk menyamarkan diri dari kejaran tentara Belanda. Pangeran Rohjoyo sendiri pernah menjadi murid Pangeran Diponegoro saat dalam pelarian dikejar tentara Belanda. Selama masa pelarian itu, dia mendirikan padepokan sebagai tempat tinggal dan menyebarkan Islam. Pangeran Rohjoyo meninggal pada tahun 1830 di tempat itu.
Tokoh lain yang dimakamkan di sana adalah Dewi Condro Asmoro yang dikenal dengan Mbah Tu (Mbah Tuwo). Dia adalah istri dari Pangeran Rohjoyo, salah satu keturunan Kerajaan Majapahit, putri Prabu Suito Kerto dan Dewi Anjasmoro.
Disebutkan, Mbah Tu dikenal sebagai tokoh syiar Islam hingga akhir hayatnya di Kota Batu pada 1781. Konon dia meninggal saat melantunkan lafadz pujian miftakhul jannah. Sebab itulah keduanya menjadi tokoh legendaris di Kota Batu. Selain itu ada juga Dewi Mutmainah dan Kyai Naim. Dewi Mutmainah adalah istri muda Pangeran Rojoyo. Putri dari Syekh Maulana Muhammad, putra Sunan Gunung Jati. ( mf/man)