SUARAGONG.COM – Pada 23 Agustus 2024, Kota Malang, Jawa Timur, menjadi lokasi unjuk rasa besar-besaran yang melibatkan ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil. Mereka menolak revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang dianggap merugikan demokrasi lokal dan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Aksi Demo ini berakhir ricuh dengan kerusakan pada fasilitas gedung DPRD Kota Malang, termasuk pembakaran ban, pelemparan botol, batu, flare, dan perusakan pintu gerbang. Artikel ini mengeksplorasi latar belakang, dinamika kekacauan, serta respons dari pihak terkait.
Ngalam Tolak Revisi UU Pilkada
Demo di DPRD Malang merupakan bentuk protes terhadap revisi UU Pilkada yang dianggap berpotensi merugikan proses demokrasi dan melanggar hak konstitusional warga. Tindakan ini mencerminkan ketidakpuasan mendalam terhadap kebijakan legislatif yang dinilai merugikan proses pemilihan kepala daerah dan mengabaikan putusan MK.
Pengamatan yaitu Wartawan Media Suaragong langsung di lokasi kejadian, dan pernyataan resmi pihak berwenang serta perwakilan aksi. Analisis mencakup dinamika aksi, tindakan massa, serta respons DPRD dan kepolisian.
Unjuk rasa diawali dengan orasi damai yang menuntut audiensi dengan Ketua DPRD Kota Malang. Ketidakmampuan memenuhi tuntutan ini menyebabkan ketegangan meningkat dan berujung pada kekacauan.
Demo dan Validalisme di Gedung DPRD Kota Malang
Massa melakukan aksi vandalisme, termasuk membakar ban dan melempar botol, batu, serta flare ke arah gedung DPRD. Puncaknya adalah perusakan pintu gerbang yang menunjukkan frustrasi mendalam dari pengunjuk rasa yang merasa suaranya tidak didengar.
Polisi menerapkan langkah-langkah keamanan untuk mengendalikan situasi. Sementara Ketua DPRD Kota Malang akhirnya menerima tuntutan massa dan berkomitmen menyampaikannya ke DPR RI. Respons ini bertujuan untuk meredakan ketegangan dan melanjutkan dialog.
Meskipun DPR RI membatalkan pengesahan RUU Pilkada, pengunjuk rasa merasa tindakan tersebut hanya solusi sementara. Kekecewaan terhadap lembaga legislatif dan eksekutif tetap tinggi, menunjukkan perlunya reformasi kebijakan yang lebih mendalam.
Bersatu Teguh : Suara Rakyat
Malang penuh dengan aksi demo yang meriah namun tidak tanpa tantangan. Ribuan demonstran dari berbagai latar belakang, termasuk Badan Eksekutif Mahasiswa dan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan. Bersama berkumpul di depan Gedung DPRD Kota Malang. Satu hal yang menarik dari aksi kali ini adalah bukan hanya tuntutannya yang memanas. Tetapi juga cuacanya yang tak kalah dramatis: hujan deras turut memeriahkan suasana, membuat para demonstran semangatnya “basah-basahan”.
Ketika demonstran menyuarakan tuntutan mereka, mereka tidak hanya menuntut agar revisi UU Pilkada dibatalkan, tetapi juga menolak “cawe-cawe” Presiden Joko Widodo dan menuntut KPU RI untuk patuh pada putusan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, para petugas keamanan terlihat kesulitan mengendalikan massa. Dimana lebih sibuk membuat berbagai pose lucu di tengah hujan, seolah-olah aksi ini adalah sesi foto pre-wedding.
Menariknya, meski demonstran dengan keras kepala menolak audiensi dengan Ketua DPRD Kota Malang, Made Riandiana Kartika, dan pimpinan DPRD lainnya, mereka tetap semangat untuk “menduduki” gedung tersebut. Tidak hanya berusaha masuk, mereka juga menghadapi tantangan tambahan berupa “penari balet” dari petugas keamanan yang berusaha menghadang mereka dengan gerakan khas.
Cerminan dari Demokrasi yang Bobrok
Puncaknya, meski aksi ini lebih terlihat seperti perayaan daripada unjuk rasa formal, para peserta yang basah kuyup tetap tidak kehilangan semangat. Mereka akhirnya bersorak-sorai, sambil berharap hasil dari aksi ini membawa perubahan nyata. Seperti apa pun akhirnya, demo kali ini setidaknya menambah perjuangan penegakkan demokrasi.
Unjuk rasa di Malang pada 23 Agustus 2024 mencerminkan ketidakpuasan mendalam terhadap kebijakan legislatif yang dianggap merugikan demokrasi lokal. Meski tindakan kekerasan tidak dapat dibenarkan, kekacauan mencerminkan frustrasi luas di masyarakat terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Respons dari DPRD dan kepolisian menunjukkan upaya mitigasi, namun penyelesaian jangka panjang memerlukan dialog yang lebih konstruktif dan transparansi dalam pengambilan keputusan politik. (Ind)