SUARAGONG.COM -Fenomena “post-truth” yang merujuk pada situasi di mana emosi dan opini lebih mendominasi daripada fakta dan keahlian. Yang mana kini hal tersebut semakin mengkhawatirkan. Dalam era digital saat ini, informasi yang lebih sensasional dan populer sering kali mengalahkan pengetahuan yang didasarkan pada disiplin ilmu. Fenomena ini semakin nyata di tengah maraknya media sosial. Di mana masyarakat lebih cenderung mempercayai pendapat influencer daripada pakar di bidangnya.
Terkait hal ini, Angga Prawadika Aji, dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), memberikan pandangannya. Menurut Angga, ada dua faktor utama yang mendorong kemunculan era post-truth: perkembangan politik dan popularitas media sosial.
Era Post-Truth: Pengaruh Politik dan Media Sosial
“Post-truth muncul karena dua faktor penting. Pertama, perkembangan politik yang kian mempengaruhi cara orang menerima informasi. Dan kedua, popularitas media sosial yang mengubah cara kita memandang keahlian,” ungkap Angga saat diwawancarai di Surabaya pada Selasa (12/11/2024). Menurut Angga, fenomena ini memunculkan fenomena “mati kepakaran” di mana informasi yang tidak berbasis keahlian malah lebih diminati oleh masyarakat.
Dampak Media Sosial terhadap Penurunan Nilai Kepakaran
Angga menekankan bahwa media sosial memainkan peran besar dalam menurunkan nilai keahlian. Di platform media sosial, semua orang, terlepas dari latar belakang keahlian mereka, memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pendapat dan mendapatkan perhatian yang besar.
“Media sosial kini menjadi masalah besar. Seperti yang dikatakan oleh Umberto Eco, orang tanpa keahlian atau pengalaman bisa mendapat perhatian setara dengan pakar yang sudah bertahun-tahun mendalami bidangnya,” tambah Angga.
Fenomena ini berimplikasi pada cara masyarakat mengevaluasi informasi. Sebagai contoh, banyak orang yang kini lebih mempercayai informasi berdasarkan jumlah likes, views, atau popularitas daripada mempertimbangkan keakuratan atau dasar ilmiah dari informasi tersebut. Hal ini mengaburkan batas antara fakta dan opini, serta mengancam kredibilitas ilmu pengetahuan di masyarakat.
“Media sosial sering kali berfokus pada kuantitas perhatian. Jika sebuah opini tidak mendapatkan cukup banyak likes atau views, maka secara otomatis kita menganggapnya kurang bernilai,” jelas Angga.
Echo Chamber: Pengaruh Sosok Populer dalam Menyebarkan Misinformasi
Angga juga mengungkapkan bahwa fenomena ini diperparah oleh ketergantungan masyarakat pada figur-figur populer, seperti influencer, untuk menafsirkan informasi yang mereka terima. Kurangnya literasi digital membuat masyarakat cenderung mempercayai sumber informasi yang sudah familiar, meskipun tidak memiliki keahlian yang valid.
Hal ini menciptakan fenomena yang dikenal dengan istilah echo chamber, di mana masyarakat hanya tertarik pada informasi yang sejalan dengan keyakinan mereka dan menolak informasi yang bertentangan. “Echo chamber terjadi ketika orang hanya mengonsumsi informasi yang sesuai dengan pandangan mereka dan menolak informasi yang berbeda,” ujar Angga.
Kurangnya kemampuan literasi dan berpikir kritis membuat masyarakat Indonesia rentan terhadap misinformasi dan berita bombastis yang datang dari influencer atau figur terkenal.
“Jika literasi digital masyarakat tidak segera ditingkatkan, kita akan menghadapi generasi yang kesulitan membedakan antara opini populer dan fakta yang benar. Akibatnya, ini bisa berujung pada pembodohan massal di mana popularitas menjadi tolok ukur kebenaran,” pungkas Angga (aye/sg).
Baca Juga : Gaes !!! Fenomena Langkah: Gurun Al Jawf di Arab Saudi Dihujani Sa