SUARAGONG.COM – Kesenian Bantengan mungkin terdengar seperti sesuatu yang modern dan kekinian, tapi tahukah kamu kalau seni ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Singhasari? Yup, Bantengan ternyata memiliki sejarah panjang dan kaya yang patut kita ketahui. Bantengan, yang sering diasosiasikan dengan pertunjukan yang melibatkan topeng banteng, sebenarnya sudah ada jauh sebelum kita mengenalnya seperti sekarang. Pada zaman Kerajaan Singhasari, Bantengan bukan hanya sekedar pertunjukan, melainkan juga sebuah ritual penting. Relief-relief di beberapa candi peninggalan Kerajaan Singhasari menggambarkan adanya kegiatan yang mirip dengan Bantengan, menunjukkan bahwa seni ini sudah ada sejak masa tersebut.
Kesenian Bantengan Malangan : Mberot
Pada awalnya, Bantengan bukanlah pertunjukan yang menampilkan tarian dengan topeng banteng seperti yang kita lihat hari ini. Gerakan-gerakan dalam pertunjukan Bantengan awalnya diambil dari gerakan Kembangan Pencak Silat. Bayangkan saja, betapa epiknya pertunjukan yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu ini! Masa kolonial Belanda membawa perubahan tersendiri dalam sejarah Bantengan. Seorang tokoh bernama Mbah Siran di Desa Claket, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, menciptakan topeng Bantengan dengan tanduk banteng. Inovasi ini memodifikasi kesenian ini menjadi seperti yang kita lihat sekarang.
Era Orde Lama menjadi titik awal penyebaran kesenian Bantengan ke berbagai daerah pegunungan di Jawa Timur. Kini, Bantengan sudah berkembang pesat dan dapat ditemukan di banyak daerah seperti Mojokerto, Malang, Batu, Lumajang, Kediri, dan Pasuruan. Keberadaannya yang luas menunjukkan betapa pentingnya seni ini bagi masyarakat lokal.
Keunikan dan Perkembangan Kesenian Bantengan
Kesenian Bantengan tak hanya sekadar pertunjukan. Ini adalah gabungan antara seni tari, pencak silat, dan kekuatan fisik. Para pemainnya mengenakan topeng banteng yang berat dan menari sambil menunjukkan keterampilan bela diri. Gaya ini tidak hanya menonjolkan kekuatan fisik, tetapi juga melibatkan nilai-nilai kultural yang mendalam.
Salah satu komunitas Bantengan yang terkenal adalah Komunitas Rogo Wilis. Komunitas ini tidak hanya berlatih dan tampil, tetapi juga mengadakan acara doa bersama sebelum pertunjukan sebagai bentuk penghormatan. Mereka berlatih dalam dua sesi, yaitu sore untuk anak-anak dan malam untuk dewasa. Menariknya, mereka tidak melakukan ritual tambahan seperti sesaji, melainkan hanya mengikuti aturan agama dan berdoa untuk keselamatan.
Kesenian Bantengan juga mempunyai dampak sosial yang signifikan. Selain mengajarkan pencak silat dan mempererat persatuan, Bantengan juga berperan dalam mengembangkan ekonomi lokal. Acara pertunjukan Bantengan sering diikuti dengan bazar makanan, yang secara tidak langsung membantu perekonomian masyarakat setempat.
Pelestarian dan Tantangan
Tentu saja, dengan semakin modernnya zaman dan pergeseran minat generasi muda, pelestarian budaya lokal seperti Bantengan menghadapi tantangan tersendiri. Banyak yang lebih tertarik pada gadget dan hiburan digital, sehingga perhatian terhadap budaya tradisional mulai memudar. Namun, upaya pelestarian seperti festival budaya dan acara tahunan tetap digelar untuk menjaga keberadaan Bantengan.
Festival budaya, seperti yang diadakan di Desa Sumbersekar, Kecamatan Dau, Malang, merupakan contoh nyata dari upaya pelestarian. Acara ini menampilkan berbagai budaya lokal, termasuk Bantengan, dan melibatkan masyarakat dalam pawai budaya serta pertunjukan seni. Ini bukan hanya tentang merayakan budaya, tetapi juga tentang menjaga agar budaya tersebut tetap hidup dan relevan di tengah perubahan zaman.
Kita semua memiliki peran penting dalam melestarikan budaya lokal ini. Dengan mendukung dan ikut serta dalam pertunjukan Bantengan, kita tidak hanya menikmati seni yang unik, tetapi juga berkontribusi pada pelestarian warisan budaya yang berharga. Mari kita jaga Bantengan agar tetap eksis dan berkembang, serta terus menghargai kekayaan budaya yang dimiliki oleh negeri ini. (Ind/Sg)