SUARAGONG.COM – Kelapa sawit tetap menjadi salah satu komoditas ekspor utama Indonesia. Dengan produk turunan dari lemak dan minyak nabati menyumbang sebesar USD 14,43 miliar atau sekitar 10,18 persen dari total ekspor nonmigas negara ini. Menyadari pentingnya industri kelapa sawit sebagai komoditas strategis, pemerintah berfokus pada pengembangan sektor ini antaranya penguatan ekspor dan Hilirisasi. Untuk mendukung keberlanjutan industri serta menciptakan keseimbangan antara pasar domestik dan internasional.
Penguatan Hilirisasi Kelapa Sawit
Dalam Sosialisasi Implementasi Ketentuan Terkait Ekspor dan Pungutan Ekspor atas Komoditas Kelapa Sawit, CPO, dan Produk Turunannya, yang digelar di Surabaya pada Kamis (21/11). Disampaikan oleh Eddy Abdurrachman, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Ia menjelaskan bahwa hilirisasi kelapa sawit di Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang positif.
“Data per Oktober 2024 menunjukkan hilirisasi komoditas kelapa sawit telah berjalan dengan baik. Komposisi ekspor CPO (Crude Palm Oil) cenderung menurun. Kini hanya sekitar 7 persen, sementara produk hilirannya meningkat sekitar 65 persen,” jelasnya.
Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mendorong hilirisasi industri kelapa sawit. Antara lain PERMENPERIN 32 Tahun 2024 yang mengatur klasifikasi komoditas turunan kelapa sawit dan PERMENDAG 26 Tahun 2024 tentang ketentuan ekspor produk turunan kelapa sawit. Selain itu, Kementerian Keuangan juga mengeluarkan PMK Nomor 62 Tahun 2024 mengenai tarif pelayanan BLU BPDPKS. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri kelapa sawit nasional, baik di pasar domestik maupun internasional.
Eddy mengungkapkan bahwa salah satu dampak positif dari kebijakan pemerintah adalah stabilitas harga CPO di pasar internasional.
“Harga CPO di pasar global cenderung lebih stabil. Yang mana memberikan kepastian biaya bagi eksportir dan menjaga daya saing produk-produk turunan kelapa sawit.” Ujar Eddy.
Perhatian kepada Perkebunan Sawit Rakyat
Selain mendukung pengusaha besar, pemerintah juga memberikan perhatian kepada pekebun sawit rakyat. Sekitar 40-41 persen dari total 16,8 juta hektar lahan sawit nasional dikelola oleh pekebun rakyat. Kebijakan pungutan ekspor yang diberlakukan juga berkontribusi pada stabilitas harga tandan buah segar (TBS). Sehingga perusahaan pengolah sawit dapat membeli TBS dengan harga yang lebih stabil dan memberikan margin yang lebih baik kepada petani.
Di akhir acara, Eddy menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang terlibat dalam kemajuan industri kelapa sawit nasional. “Sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, eksportir, asosiasi, dan institusi terkait sangat berperan dalam mencapai tujuan nasional, menuju Indonesia Emas 2045,” tutupnya. (Aye/Scg