SUARAGONG.COM – Belakangan ini, semakin banyak generasi Z dan milenial yang memilih untuk membelanjakan uang mereka pada barang-barang mewah. Seperti pakaian desainer dan perjalanan wisata, daripada menabung. Fenomena ini dikenal dengan istilah doom spending. Sebuah kebiasaan berbelanja berlebihan yang dipicu oleh perasaan pesimistis terhadap kondisi ekonomi dan masa depan.
Didasari Psimistik: Fenomena Doom Spending
Menurut Psychology Today, doom spending adalah bentuk pelarian dari ketidakpastian masa depan dan perasaan cemas terhadap keadaan ekonomi. Kebiasaan ini banyak ditemukan di kalangan anak muda yang lebih terhubung secara daring dan sering terpapar berita buruk. Senior Lecturer di King’s Business School, Ylva Baeckström, mengungkapkan bahwa paparan terhadap berita negatif dapat memengaruhi kesehatan mental mereka dan mendorong kebiasaan belanja impulsif yang tidak sehat. “Mereka merasa lebih nyaman berbelanja sebagai cara untuk melarikan diri dari kenyataan,” ujar Baeckström.
Fenomena ini tidak terbatas di Amerika Serikat saja. Stefania Troncoso Fernández, seorang publicist dari Amerika Latin, mengakui bahwa dia pernah terjebak dalam pola doom spending. Inflasi tinggi dan ketidakpastian politik membuatnya sulit untuk menabung secara rasional. “Harga makanan terus naik, dan kita tidak bisa hidup seperti setahun lalu,” katanya. Hal ini menunjukkan bahwa doom spending tidak hanya dipicu oleh ketidakpastian ekonomi, tetapi juga oleh tekanan hidup sehari-hari.
Mengapa Doom Spending Terjadi?
Para ahli percaya bahwa kebiasaan ini berkaitan erat dengan literasi keuangan yang rendah dan ketidakamanan finansial. Fernández menekankan bahwa ia tidak memiliki literasi keuangan yang memadai. “Ayah saya tumbuh dalam kemiskinan dan tidak ada yang mendorongnya untuk menabung,” ungkapnya. Akibatnya, tanpa dasar pemahaman yang kuat tentang keuangan, doom spending menjadi jalan keluar yang mudah.
Selain itu, teknologi modern seperti belanja online dan pembayaran digital mempercepat keputusan untuk berbelanja tanpa berpikir panjang. Samantha Rosenberg, salah satu pendiri platform Belong, menjelaskan bahwa kemudahan menggunakan Apple Pay dan metode pembayaran serupa menghilangkan rasa “sakit” saat menyerahkan uang. Rosenberg merekomendasikan penggunaan uang tunai sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kontrol pengeluaran. “Dengan uang tunai, kita lebih sadar saat bertransaksi, karena kita harus benar-benar menyerahkan uang secara fisik,” jelasnya.
Mengatasi Kebiasaan Doom Spending
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghindari kebiasaan doom spending. Baeckström menyarankan pentingnya membangun hubungan yang sehat dengan uang. Seperti hubungan dengan orang lain, hubungan dengan uang dibentuk sejak kecil dan dapat mempengaruhi kebiasaan belanja di masa dewasa. “Jika kamu merasa aman dengan uang, kamu lebih mungkin membuat keputusan finansial yang bijaksana,” ujarnya.
Daivik Goel, pendiri startup fintech berusia 25 tahun, juga pernah terjebak dalam kebiasaan ini saat bekerja di sebuah startup bioteknologi. Tekanan sosial dan ketidakpuasan dalam pekerjaannya mendorongnya untuk menghabiskan uang pada barang-barang mewah sebagai bentuk pelarian. Namun, sejak memulai perusahaannya sendiri, ia menemukan kebahagiaan dalam pekerjaannya dan berhasil keluar dari kebiasaan tersebut. “Pola pikirku sepenuhnya berubah,” katanya, menunjukkan bahwa menemukan makna dalam kehidupan dan pekerjaan dapat membantu seseorang melepaskan diri dari doom spending.
Cara Mengendalikan Pengeluaran Impulsif
Bagi mereka yang ingin mengendalikan pengeluaran, Rosenberg menyarankan untuk menambah “poin pengambilan keputusan” dalam proses belanja. Mengunjungi toko secara langsung, mengevaluasi barang, dan menunggu dalam antrean dapat membantu menekan keinginan untuk berbelanja impulsif. Rosenberg juga merekomendasikan untuk kembali ke metode pembayaran yang lebih tradisional, seperti uang tunai, guna memperlambat proses pengeluaran.
Fenomena doom spending adalah refleksi dari tantangan yang dihadapi oleh generasi muda di era modern. Dengan literasi keuangan yang lebih baik dan kesadaran akan pengeluaran, diharapkan generasi Z dan milenial dapat lebih bijak dalam mengelola keuangan mereka dan menghindari perilaku konsumtif yang merugikan. (Aye/Sg).
Baca Juga : Gaes !!! Pentingnya Literasi Keuangan Bagi GenZ