Probolinggo, Suaragong – Usai Pemilu, Pilpres dan Pileg 2024, hajatan demokrasi akan berlanjut ke Pilkada. Tapi tidak di semua daerah. Hanya di beberapa propinsi, kota, dan kabupaten saja. Satu diantara daerah menggelar kontestasi politik tingkat lokal itu adalah Kota Probolinggo. Sebelum berlanjut, kita flashback sebentar ke pilkada Kota Probolinggo tahun 2018. Koalisi tiga partai yakni PKB, Demokrat, dan PKS, sukses menduetkan Hadi Zainal Abidin dan Muhammad Soufis Sobri. Pasangan cawali-cawawali dengan akronim Handal-Brilian itu, berhasil meraup 60.354 suara dukungan (48% pemilih).
Saat itu, pesertanya empat pasangan calon. Yakni nomor urut 1, Suwito – Fery Rahyuwono, meraih 3.346 suara (3 persen). Lalu pasangan nomor urut 2, Fernanda Zulkarnain- Zulfikar Imawan, mendapat 46.854 suara (37 persen). Selanjutnya pasangan nomor urut 3, Samsu Alam – Kulub Widyono, meraih 14.944 suara (12 persen), dan pasangan nomor urut 4, Hadi Zainal Abidin (PKB) – Muhammad Soufis Sobri (Demokrat) meraih 60.354 suara (48 persen).
Berdasar statistik tersebut, Hadi Zainal Abidin, dipastikan kembali mendapat rekom PKB sebagai bakal calon kepala daerah 2024. Apalagi, pada pemilu kali ini, PKB mendapat 6 kursi DPRD Kota Probolinggo. Artinya, modal 20 persen syarat minimal sebagai partai pengusung pasangan calon, sudah memenuhi.
Lalu benarkah PKB Kota Probolinggo, akan mengusung pasangan calon sendiri tanpa koalisi ? Narasi tersebut mulai menjadi isu hot belakangan ini. Secara kuantitas PKB memang sudah memenuhi 20 persen kursi parlemen. Dari perhitungan itu, masuk akal, jika PKB tanpa koalisi pun bisa mengusulkan pasangan calon sendiri. Namun begitu, peluang koalisi PKB sebagai pengusung incumbent dengan partai lolos di DPRD tetap menarik kita ulas.
Hari ini, konstelasi politik di Kota Probolinggo, masih sangat mencair. Namun perlu kita baca manuver politik beberapa partai parlemen belakangan ini. Kita mulai dari parpol perolehan kursi terkecil. Seperti PPP dengan 2 kursi DPRD-nya. Telah kita ketahui, dalam sepekan terakhir, partainya Alm. Mbah Maimun Zubair, itu intensif berkomunikasi dengan Gerindra, dan NasDem.
Kabarnya Inna Buchori, bulat diusulkan Gerindra, PPP dan NasDem, sebagai bakal calon wakil walikota. Putri kedua mantan Wali Kota Probolinggo ini, disandingkan dengan dr. Aminuddin, bakal calon walikota Partai Gerindra. Kita ketahui partai besutan Prabowo Subianto, ini memiliki 4 kursi di DPRD. Sedangkan Inna, sendiri tercatat sebagai politisi Partai NasDem, dengan modal 3 kursi di DPRD.
Selanjutnya PKS. Dengan perolehan 3 kursi, partai awalnya diarsiteki para aktivis dakwah kampus ini, dikabarkan juga merapat ke Gerindra. Dua nama sebelumnya disodorkan PKS kepada dr. Aminuddin. Namun ujungnya pilihan PKS juga jatuh kepada Inna Buchori. Meski demikian, sekali lagi politik itu dinamis. PKS apalagi PPP sebagai partai juru kunci di DPRD, masih berpeluang besar mengalihkan arah dukungan.
Pertanyaan mengapa PKS tidak mengulang history 2018 ? juga akan penulis jawab. Ada asumsi, PKS bisa dibilang mengecap “pengalaman pahit” selama berkubu dengan PKB. Lima tahun jalannya pemerintahan Hadi Zainal Abidin, PKS nyaris tak pernah dilibatkan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan di Kota Probolinggo.
Tah hanya itu. Sebagai partai penguasa, juga pemenang pemilu 2019, PKB akhirnya juga pecah kongsi dengan dua teman koalisinya. Yakni Demokrat dan PKS. Sumber penulis menyebutkan perpecahan terjadi sejak Wawali Saufis Sobri, meninggal dunia karena covid19.
Kini kita bicara PPP. Dalam perspektif penulis, PPP dan PKB sejatinya dua partai berbasis dukungan dari kaum nahdliyin. Baik konstelasi nasional maupun daerah, dua partai ini terus berebut pengaruh dari ceruk suara yang sama. Sama-sama suara NU. Jika dua partai ini bisa akur, sebenarnya pada kontestasi pilpres 2024 kemarin, PPP bisa mendukung pasangan Anies-Muhaimin.
Pada Pilkada Kota Probolinggo 2018 lalu, rekom PPP juga jatuh kepada Fernanda Zulkarnain, politisi Partai Golkar. Berdasar history, koalisi PPP dengan Gerindra, jelas bukan hal baru. Pada pilkada 2018, PPP bersama Gerindra, NasDem dan Golkar, juga mengusung pasangan Fernanda – Zulfikar Imawan.
Bagaimana dengan Golkar dan PDIP ? Dua partai dengan perolehan suara terbesar dan PDIP di posisi ke 3 ini, akankah koalisi dengan PKB ? Mari, juga kita hitung.
Di Kota Probolinggo, Partai Golkar keluar sebagai partai pemenang pemilu 2024. Dengan 7 kursi di DPRD atau sekitar 23 persen, porsi Golkar, jelas untuk calon N1. Justru kepercayaan publik akan tergerus jika Golkar, hanya mengusung calon untuk posisi N2. Dari kalkulasi politik ini, Golkar rasanya akan sulit menerima bakal calon N1 diusung PKB.
Yang paling memungkinkan Golkar menggandeng PKS atau PPP. Selain tidak terlalu sulit membuat kompromi politik dengan salah satu atau kedua partai tersebut, ceruk suara akan didulang sudah dipastikan dari kalangan agamis nasionalis. Itu jika PPP atau PKS tidak dikunci Gerindra.
Bagaimana jika Golkar koalisi dengan PDIP ? Secara matematika politik, kongsi kedua partai ini menang di atas kertas. Golkar 7 kursi (23 persen) dan PDIP 5 kursi (16 persen). Namun perlu diingat, pada pilkada 2018 silam, calon diusung Golkar, mendapat sokongan partai koalisi paling gemuk dibanding rival-rivalnya. Artinya yang gemuk-gemuk belum tentu menang.
Bisik-bisik sejumlah elit PDIP di Jawa Timur, menyebut, komunikasi dengan PKB soal pilkada Kota Probolinggo, cukup intensif. Kader PDIP bakal diusung-pun kabarnya juga tidak harus putra daerah. Meski paling ideal adalah menyandingkan Haris Nasution, Ketua DPC PDIP Kota Probolinggo, dengan Hadi Zainal Abidin.
Analisa penulis di atas hanya bersifat prediksi. Namun tak bisa dipungkiri muara koalisi parpol pilkada 2024 ini hanya ada pada PKB dan Gerindra. Hadi Zainal Abidin dan dr. Aminuddin, seolah menjadi magnet dalam konstelasi politik kali ini. Meski penentu akhir skema koalisi nanti ada pada rekomendasi parpol. Selamat berburu rekom. Salam. (*/red/edl/man)