Jakarta, Suaragong – Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto memberikan dukungan terhadap film dokumenter Dirty Vote, yang saat ini menjadi perbincangan hangat.
Menurutnya, film tersebut secara tepat menggambarkan dinamika politik di lapangan dan berperan sebagai kritik konstruktif terhadap penyelenggara pemilu dan Presiden. Dalam pernyataannya, Hasto menekankan bahwa “Film Dirty Vote berhasil mengungkap berbagai manipulasi dan kecurangan dalam Pemilu, termasuk campur tangan kuat dari kekuasaan istana,” seperti yang dikutip dari sumbar.suara.com.
Tak hanya itu, dia juga mengangkat beberapa isu yang diungkap dalam film tersebut, antara lain manipulasi hukum di Mahkamah Konstitusi, penunjukan Pejabat Kepala Daerah yang cenderung mendukung Prabowo-Gibran, serta tekanan terhadap kepala daerah dan penyalahgunaan anggaran negara.
Adanya film yang produksi oleh Koalisi Masyarakat Sipil dan disutradarai oleh Dandhy Laksono ini, diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi masyarakat menjelang hari pemilu. Film Dirty Vote ini tayang pada tanggal 11 Februari, sekaligus di hari pertama masa tenang pemilu. Film “Dirty Vote” disusun dengan tujuan untuk memberikan edukasi kepada publik melalui diskusi dan forum yang diadakan.
Menurut Hasto, kecurangan dalam pemilu yang diungkapkan dalam film tersebut mencerminkan tekanan yang dirasakan oleh kandidat Ganjar-Mahfud dan PDIP. “Kami terkejut dengan perubahan sikap Pak Jokowi, yang terlihat meletakkan kekuasaan di atas segalanya dalam pertimbangan akal sehat, nurani, dan moral, sangat merugikan Ganjar-Mahfud,” ujarnya. Di samping itu, Dandhy Laksono menjelaskan bahwa “Dirty Vote” merupakan hasil kolaborasi dari beberapa organisasi masyarakat sipil dan didanai oleh crowdfunding.
Di dalam film ini melibatkan lebih dari 20 lembaga, termasuk AJI, Greenpeace Indonesia, dan Indonesia Corruption Watch, dengan tujuan memberikan wawasan mendalam tentang kecurangan dalam pemilu. Tiga ahli hukum tata negara akan membintangi film dokumenter ini, yaitu Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Selain itu, dalam film ini juga memberikan analisis mengenai bagaimana kekuasaan dimanfaatkan untuk memenangkan pemilu yang dapat merusak tatanan demokrasi. Harapan dari koalisi masyarakat sipil dengan adanya film ini adalah agar film ini bisa menginspirasi terciptanya keadilan dan transparansi dalam proses pemilu. (rfr/man)