SUARAGONG.COM – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto merancang langkah ambisius dengan meningkatkan produksi biodiesel berbasis minyak sawit hingga 60 persen, yang dikenal sebagai program B60. Langkah ini dilihat sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah di Indonesia, khususnya kelapa sawit. Namun, rencana besar ini disambut dengan peringatan dari kalangan pengusaha sawit yang menilai kebijakan ini harus dijalankan dengan hati-hati.
Biodiesel B60: Produksi Biodiesel Berbasis Minyak Sawit hingga 60 persen
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, mengapresiasi niat pemerintah dalam mengoptimalkan penggunaan kelapa sawit melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Namun, ia menekankan bahwa saat ini produksi kelapa sawit di dalam negeri masih stagnan. Menurutnya, implementasi program B60 bisa menimbulkan risiko besar, terutama jika dilakukan secara tergesa-gesa.
“Saya sangat yakin pemerintah akan mempertimbangkan dengan matang sebelum mengimplementasikan B60, terlebih saat produksi kelapa sawit dalam negeri belum mencukupi. Jangan sampai ekspor sawit kita dikorbankan,” ujar Eddy dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (22/10/2024).
Dampak Terhadap Ekspor dan Devisa Akibat Biodiesel B60
Eddy menjelaskan bahwa implementasi program biodiesel yang tidak diperhitungkan dengan baik dapat menyebabkan penurunan volume ekspor kelapa sawit. Menurut perhitungan Gapki, jika pemerintah melaksanakan program B40, hal ini akan memangkas ekspor sawit sebesar 2 juta ton. Apabila program B50 diterapkan, ekspor bisa berkurang hingga 6 juta ton dari total ekspor rata-rata 30 juta ton per tahun.
Penurunan ekspor ini akan berdampak langsung pada devisa negara yang bergantung pada ekspor kelapa sawit. “Jika ekspor sawit menurun, devisa juga akan ikut turun. Selain itu, kita harus memikirkan siapa yang akan menanggung biaya untuk program biodiesel ini. Saat ini, pembiayaan B35 saja berasal dari pungutan ekspor,” tambah Eddy.
Risiko Inflasi dan Harga Minyak Nabati Dunia
Selain dampak pada devisa, Eddy juga mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai potensi inflasi. Jika suplai sawit dari Indonesia ke pasar global berkurang, harga minyak nabati dunia bisa meningkat. Hal ini pada akhirnya akan mempengaruhi harga produk berbasis kelapa sawit di dalam negeri, yang bisa memicu inflasi.
“Berkurangnya pasokan sawit ke dunia akan menyebabkan harga minyak nabati naik. Ujung-ujungnya, harga produk berbasis sawit juga akan ikut mahal di dalam negeri, dan ini bisa menambah tekanan inflasi bagi kita,” ujarnya.
Data Produksi Sawit 2024
Data terbaru dari Gapki menunjukkan bahwa produksi crude palm oil (CPO) pada bulan Agustus 2024 mencapai 3,986 juta ton, naik 10,2% dibandingkan dengan produksi bulan Juli sebesar 3,617 juta ton. Produksi minyak kernel sawit (PKO) juga meningkat dari 344 ribu ton pada Juli menjadi 391 ribu ton di Agustus. Meskipun ada peningkatan bulanan, secara keseluruhan produksi sawit tahun 2024 masih 4,86% lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada 2023.
Dalam hal konsumsi domestik, terjadi peningkatan sebesar 30 ribu ton dari bulan Juli ke Agustus 2024, khususnya untuk keperluan pangan yang naik 88 ribu ton. Namun, konsumsi biodiesel justru menurun dari 1,035 juta ton pada Juli menjadi 979 ribu ton di Agustus. Dengan kondisi seperti ini, Eddy dan para pengusaha sawit berharap pemerintah akan bersikap hati-hati dan memperhitungkan segala aspek sebelum melangkah lebih jauh dengan program biodiesel B60. (Aye/Sg).
Baca Juga :Gaes !!! Bahaya Tersembunyi di Balik Lemak: Dampak Sering Konsumsi Makanan Berminyak