Malang, Suara Gong
Bagi warga Kota Malang, tentu tak asing lagi dengan Warung Sate Gebug. Berlokasi di deretan Kayu Tangan, tepatnya di JL Basuki Rahmat, 113 A Kota Malang, Warung Sate Gebug, ternyata memiliki histori dengan Belanda. Bagaimana kisahnya, berikut catatan wartawan suaragong.com.
Bangunan bekas peninggalan Belanda, yang kini menjadi Warung Sate Gebug, ini, awalnya berfungsi sebagai tempat penjualan es. Saat itu, Yahmon, bersama istrinya Karbuwati, pedagang Sate Gebug, membeli bangunan itu kepada pemiliknya yang merupakan orang Belanda. “Akte bangunannya tahun 1910, toko es batu zaman Belanda.
Pemiliknya masih orang Belanda. Dibeli tahun 1920 dan dipakai untuk warung sate,” ucap Achmad Kabir, pengelola warung.Sekedar diketahui, Achmad Kabir, adalah generasi ke tiga dari pengusaha kuliner Sate Gebug.Setelah dimiliki oleh Yahmon sekeluarga, bangunan Belanda itupun dirubah menjadi tempat berjualan sate.
Cita rasa yang khas dari Sate Gebug, membuat warung ini kemudian ramai, hingga saat ini.Di tahun 1980, Yahmon, meninggal dunia dan digantikan istrinya sebelum akhirnya diturunkan kepada anaknya Tjipto Sugiono, pada 1989.
Selanjutnya Tjipto, mengelola warung bersama istrinya Rusni Yati Badare. Pada tahun 2017, Tjipto meninggal dunia sehingga warung tersebut dikelola oleh istri beserta anaknya. Achmad Kabir yang akan menjadi generasi berikutnya atau generasi ke tiga dari keluarga Yahmon.”Orang tua saya tidak ngasih resep. Saya dididik untuk mengetahui bahan-bahan yang berkualitas.
Saya diajak ke pasar, cara belanja dan disuruh menilai bahan-bahan masakan yang bagus. Setelah itu saya disuruh masak,” ucap Kabir.Kabir sendiri mulai diajak berbelanja oleh orang tuanya ke pasar sejak kelas dua Sekolah Dasar.
Ia bisa mulai memasak sesuai dengan standar yang ada di warung tersebut pada kelas satu SMA. Ada satu hal yang selalu diingat Kabir dari ayahnya. Yaitu nasihat untuk selalu menggunakan bahan-bahan masakan yang berkualitas supaya cita rasanya tetap khas dan tidak mengecewakan.
“Ayah saya bilang, jangan sampai mengeluarkan jualan ini dengan bahan-bahan yang rendah. Kalau bahannya nggak ada kita nggak usah jualan,” ucapnya.Sementara daging yang menjadi bahan utama dari semua menu yang ada, diambil dari empat penyalur yang dinilai menyediakan daging berkualitas. “Kami menggunakan daging lulur dalam.
Diambil dari empat supplier. Kalau nggak ada ya kita tutup. Tidak mungkin saya ambil daging dari yang lain,” ucap Kabir.Dalam sehari bisa menghabiskan 20 hingga 40 kilogram daging. Biasanya, warung itu buka sejak pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB.
Untuk hari Jumat dan hari besar Islam warung tersebut tutup.Untuk Sate Gebuk, sendiri yang pakai lemak dijual dengan harga RP 25.000 dan untuk tanpa lemak seharga RP 30.000. Sedangkan untuk sop, soto dan rawon, seharga RP 15.000.Sofyan Arif Candra, mengaku sangat menikmati menu masakan di warung tersebut. Kata dia ke Malang, tidak lengkap jika tidak ke Warung Sate Gebug. Sofyan sendiri pengunjung dari Surabaya.
“Wajib untuk dicoba kalau ke Malang. Ini kan legendaris jadi rugi kalau ke Malang tidak ke Sate Gebug. Rasanya enak murah juga. Suasananya tempo dulu. Ornamen bangunannya masih kayak zaman Belanda,” ucap Sofyan dilansir dari kompas. (riz/eko)