Jakarta,Suaragong – Telah digelar kembali oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (13/2/2024), dalam Sidang Lanjutan pengujian Pasal 38 dan 42 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) yang di ujikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45). Perkara tersebut dimohonkan oleh beberapa pihak antaranya dari 10 Serikat pekerja yang terdiri dari dari Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (SP PLN), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali, dan terdapat 109 perseorangan lainnya sebagai pemohon.
Di analisir dari Laman Web Resmi Mahkamah Konstitusi menyebutkan, Pada saat proses dalam persidangan, dikatakan oleh Suhartoyo selaku ketua MK sepatutnya persidangan kali ini adalah mendengarkan keterangan ahli DARI Pemerintah. Tetapi ahli tersebut tidak hadir dalam persidangan yang dimaksud.
“Tadi kami sudah diskusikan dengan para Yang Mulia yang lain karena Pemerintah telah diberi kesempatan dan faktualnya hari ini memang belum bisa menghadirkan dengan pertimbangan memang kesempatan telah diberikan karena MK harus secepatnya untuk menyelesaikan perkara-perkara PUU berjalan. Oleh karena itu, kami tadi dengan para Yang Mulia untuk disampaikan saja tertulis untuk keterangan Ahli dari Presiden. Sebagaimana juga disampaikan keterangan Ahli dari Pihak Terkait secara tertulis juga. Dengan demikian sidang hari ini adalah sidang yang terakhir dan para pihak dapat mengajukan kesimpulan dan ditunggu oleh Kepaniteraan MK hingga 22 Februari 2024,” Jelas Suhartoyo.
Dijelaskan sebagai informasi, para Pemohon menjelaskan UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi atau unbundling. Hal itu Sebelum diubah oleh UU Cipta Kerja, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) telah ditafsirkan secara konstitusional melalui Putusan MK Nomor 111/PUU-XIII-2015 dan UU Ketenagalistrikan Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh MK pada 21 Desember 2004 dengan Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003. Terhadap kedua aturan tersebut atas sistem unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik telah diputuskan bertentangan dengan UUD 1945.
Pada Dalilnya, para pemohon mencantumkan subtansi dari Pasal 10 ayat (2) UU Cipta Kerja tidak berbeda dengan substansi Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII-2015. Selain itu, dijelaskan oleh mereka, bahwa tenaga listrik yang mana merupakan cabang produksi krusial bagi negara dan menguasai keentingan hidup orang banyak. Hal itu telah ditegaskan oleh pembuat UU Ketenagalistrikan sebagaimana tertera dalam konsideran menimbang huruf a dan penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU Cipta Kerja.
Sebagai Penjelasan, terkait UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi (unbundling). Bahwa yang dimaksud Sistem unblunding adalah pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik menjadi usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan. Klausul itu praktis menjadikan listrik sebagai barang jualan. Alasan para Pemohon adalah untuk menegaskan atas usaha ketenagalistrikan yang harusnya dilakukan secara kompetitif. Dimana memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang terpisah itu telah bertentangan dengan UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta kedua pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional. (Aye/MK/Sg)