Batu, Suara Gong
Kebijakan terhadap pembatasan pupuk bersubsidi oleh pemerintah pusat membuat petani Jeruk di Kota Batu cukup kelimpungan. Pasalnya, pemerintah pusat membatasi penerima pupuk bersubsidi yang hanya dialokasikan kepada para petani dengan 9 komoditas yakni padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kakao dan kopi sedangkan sebelumnya alokasi pupuk subsidi untuk 70 jenis komoditas.
Salah satu petani jeruk dan rumput gajah di Desa Tlekung, Kecamatan Junrejo, Kota Batu Sumari kelimpungan menghadapi kebijakan pembatasan pupuk bersubsidi tersebut. “Sekitar 90 persen dari lahan pertanian yang ada di desanya merupakan tanaman jeruk dan rumput gajah, namun para petani dengan jenis tanaman tersebut tidak mendapat pupuk bersubsidi,” kata pria yang juga Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sumber Bumi Makmur itu pada Rabu (22/2/2023).
Ia menilai kebijakan tersebut cukup menyusahkan para petani karena ditempatnya produk pertanian unggulannya adalah jeruk, sedangkan untuk rumput gajah digunakan sebagai suplai pakan sapi lantaran ditempatnya juga merupakan salah satu produsen susu di Kota Batu. Dirinya juga memaparkan perbedaan harga pupuk bersubsidi dan non subsidi mencapai berkali-kali lipatnya, seperti pupuk NPK non subsidi untuk satu sak dengan berat 50 kilogram seharga Rp 500 ribu sedangkan pupuk NPK bersubsidi harganya Rp 115 ribu.
Disinggung terkait upaya penyiasatan kondisi yang ada para petani jeruk rata-rata terpaksa membeli pupuk non subsidi lalu kebutuhan pemupukan yang setiap bulan sekali untuk satu pohon membutuhkan satu kilogram, tetapi kini dikurangi menjadi setengah kilogram saja. Untuk menyamai kualitas tanaman dalam mengirit penggunaan pupuk non subsidi, petani juga menambahkan pupuk kandang. Yakni untuk satu karung pupuk kandang fermentasi dengan berat 40 kilogram yakni seharga Rp 35.000 sedangkan, harga pupuk kandang basah yakni Rp 200.000 dengan ukuran satu pikap.
“Supaya kualitas tanamannya tetap sama, petani memberi pupuk kandang, memang itu bagus untuk memperbaiki pH tanah, tetapi kebutuhannya untuk dua pohon itu satu sak, jadi belum bawanya bolak bali kesana, bensin-nya berapa, operasional petani bertambah,” katanya.
Meski begitu, Sumari mengatakan, harga jual jeruk dari petani tidak bisa naik karena mengikuti pasaran. Dia sendiri memiliki 100 pohon jeruk jenis Siam dan setiap panen, harga jual jeruk darinya rata-rata dijual sekitar Rp 10.000 setiap kilogramnya. Selain itu, ia menambahkan di Desa Tlekung juga terdapat sekitar 700 ekor sapi perah yang setiap harinya, ratusan ekor sapi perah itu membutuhkan pakan rumput gajah. Sedangkan saat ini, setiap ikat rumput gajah seharga Rp 10.000 dengan berat 18 kilogram.
Kondisi yang ada, tidak jarang membuat para petani meminjam uang ke bank seperti mengambil Kredit Usaha Rakyat atau KUR dengan nilai rata-rata puluhan juta rupiah dan digunakan untuk menutup kekurangan biaya operasional yang ada. “Ya menjerit petani sekarang kondisinya, ada yang minjam ke bank, yang dikhawatirkan potensi menjual tanahnya itu, karena lahan pertanian disini setiap tahun berkurang terus, ada yang dijual, ada yang dibangun rumah, rata-rata berkurang dari satu hektare pertahunnya.
Apalagi untuk urusan sapi biasanya memang para peternak punya lahan rumput gajah sendiri di lahan perhutani, tetapi kan tidak mesti setiap hari ambil rumput, jadi juga beli, terus kan juga enggak kuat petani kalau pakai pupuk kandang bolak balik itu kebutuhannya,” tandasnya. (rul/man)