Harga Tembakau Jatuh, Petani di Jombang Utara Merugi
Share

SUARAGONG.COM – Musim panen tembakau di wilayah utara Brantas, Kabupaten Jombang, tahun ini terasa seperti mimpi buruk bagi para petani. Bukan cuma hasil panen yang menurun akibat cuaca tak menentu, harga jual tembakau juga anjlok, membuat banyak petani terpaksa gigit jari.
Panen Tembakau Jadi Mimpi Buruk Petani Jombang, Harga Tembakau Turun
Riono, petani asal Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, mengaku terpukul. Tembakau jenis jinten yang biasanya menjadi andalan kini terpuruk di harga terendah tiga tahun terakhir.
“Tahun ini murah sekali. Daun jinten bagian tengah cuma laku Rp 3 ribu per kilogram. Padahal tahun lalu masih bisa sampai Rp 4.500,” ujarnya, Minggu (22/9).
Lesunya harga membuat banyak perajang memilih berhenti beroperasi. Akibatnya, petani semakin kesulitan menjual hasil panennya. Pasar tembakau yang dulu ramai, kini sepi pembeli.
Baca Juga :Jember Episentrum Kopi dan Tembakau Dunia
Harga Anjlok, Pasar Tembakau Sepi
Kondisi serupa dialami Ahmad Mulyono, petani asal Dusun Waru, Desa Made, Kecamatan Kudu. Menurutnya, harga tahun ini benar-benar membuat petani buntung.
“Di sini, tembakau jinten cuma Rp 2.500 per kilogram, rejeb Rp 3.000. Itupun susah cari bakulnya,” ungkapnya.
Sebagai perbandingan, tahun lalu harga jinten bisa tembus Rp 5.000 per kilogram, sementara rejeb bahkan sampai Rp 6.000. Kali ini, bukan hanya harga yang jatuh, tapi juga harapan.
Gagal Panen, Pendapatan Anjlok Drastis
Musim yang tak bersahabat menambah luka. Sekitar 50 persen tanaman Mulyono gagal panen akibat hujan turun di masa kritis pertumbuhan.
“Banyak yang rusak kena hujan. Yang masih bisa dipanen pun rendemennya rendah,” keluhnya.
Jika tahun lalu dari lahan 150 ru ia masih bisa meraup pendapatan Rp 10 juta, tahun ini hanya Rp 3 juta yang tersisa.
“Jatuh banget. Tahun lalu bisa Rp 10 juta, sekarang tinggal Rp 3 juta saja,” tambahnya.
Situasi ini memaksa banyak petani mulai melirik tanaman alternatif agar tidak terus merugi. Tembakau yang dulu jadi primadona, kini seperti beban.
Tembakau, PAD, dan Harapan yang Tersisa
Ironisnya, meski harga tembakau anjlok, komoditas ini tetap menjadi penopang ekonomi Jombang. Kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui cukai hasil tembakau masih signifikan. Tembakau juga menyerap ribuan tenaga kerja, dari petani hingga perajang.
Artinya, ketika petani jatuh, bukan hanya mereka yang terpukul, tapi juga denyut ekonomi daerah. Persoalannya, perhatian pemerintah sering kali baru datang ketika angka-angka kerugian sudah terlanjur menumpuk.
Jika pola ini terus berulang, petani mungkin bukan lagi bicara soal harga murah, melainkan soal “apakah masih ada yang mau menanam tembakau.” (rfr/Aye)