Hari Buruh 2025: Potret Buram Pekerja di Tengah Gempuran Impor dan PHK Massal
Share

SUARAGONG.COM – Hari Buruh Internasional (May Day) yang jatuh pada 1 Mei tak bisa dilepaskan dari perjuangan panjang kaum buruh sedunia. Tanggal ini mengakar dari tragedi Haymarket di Chicago, Amerika Serikat, tahun 1886, ketika buruh menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam per hari. Aksi ini berujung kerusuhan dan korban jiwa, tetapi menjadi titik balik perjuangan buruh global.
Peringatan Hari Buruh Pertama Pada 1 Mei 1918
Di Indonesia, peringatan Hari Buruh pertama kali diselenggarakan pada 1 Mei 1918 oleh serikat buruh Kung Tang Hwee di Semarang. Puncaknya, pada masa Presiden Soekarno, melalui Undang-Undang Kerja Nomor 12 Tahun 1948, pemerintah menetapkan 1 Mei sebagai hari libur resmi bagi buruh. Dalam Pasal 15 ayat 2 disebutkan, buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja sebagai bentuk pengakuan atas kemenangan perjuangan mereka.
Namun, setelah 79 tahun Indonesia merdeka, perjuangan buruh masih jauh dari kata selesai. Meski reformasi 1998 membuka ruang kebebasan berekspresi, termasuk bagi buruh untuk menyuarakan haknya, berbagai tantangan struktural masih membelenggu. Pemerintah memang telah mengeluarkan sejumlah regulasi pro-buruh, tetapi tantangan utamanya tetap sama: lemahnya daya dukung industri terhadap kesejahteraan pekerja.
Semakin sehat pertumbuhan industri, semakin besar pula kebutuhan terhadap tenaga kerja. Sebaliknya, lesunya iklim industri, ketidakpastian pasar, dan rendahnya daya beli masyarakat turut memukul eksistensi pekerja. Fenomena ini diperparah oleh ledakan demografi: satu dari empat penduduk Indonesia saat ini adalah pemuda. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023 terdapat 9,89 juta pemuda usia 15–24 tahun yang masuk kategori NEET (Not in Employment, Education or Training).
Tingginya angka pengangguran muda ini banyak disebabkan oleh ketimpangan keterampilan dan ketidaksesuaian antara pendidikan yang diterima dengan kebutuhan pasar kerja. Sementara itu, industri yang seharusnya menjadi penyerap tenaga kerja justru tengah terpuruk. Sepanjang tahun 2024, sebanyak 77.965 pekerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), naik dari sekitar 60.000 orang pada tahun 2023.
Baca Juga : May Day 2025, Bupati Arifin Fokus pada Pembukaan Lapangan Kerja
Prediksi Kelam Buruh di tahun 2025
Prediksi lebih kelam muncul untuk tahun 2025, di mana sekitar 280 ribu pekerja—khususnya di sektor tekstil—diproyeksikan bakal kehilangan pekerjaan. Sebanyak 60 perusahaan tekstil bahkan dikabarkan tengah mempersiapkan restrukturisasi besar-besaran.
Sejumlah faktor dinilai menjadi pemicu gelombang PHK ini:
-
Fokus pemerintah yang lebih condong menarik investasi baru ketimbang menopang industri lama,
-
Turunnya daya beli masyarakat,
-
Keterlambatan adopsi teknologi di sektor industri padat karya,
-
Kebijakan impor yang merugikan daya saing produk lokal,
-
Minimnya insentif kredit dan dukungan finansial untuk industri.
Yang paling menyakitkan, lahirnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 justru memperburuk situasi. Regulasi ini menghapus persyaratan persetujuan teknis untuk produk impor barang jadi, termasuk tekstil. Akibatnya, impor tekstil melonjak dari 136.360 ton pada April 2024 menjadi 194.870 ton pada Mei 2024.
Lonjakan ini membuat produk lokal tak mampu bersaing dari sisi harga dan volume. Beban biaya produksi yang tinggi memaksa banyak industri dalam negeri melakukan efisiensi dengan cara terburuk: merumahkan pekerjanya.
Baca Juga : Khofifah Kukuhkan Tim Eko-Tren OPOP, Dorong Kemandirian Ekonomi Pesantren
Kondisi Ekonomi yang Belum Stabil
Kondisi ekonomi global yang tak menentu, ditambah ketidakpastian domestik, jelas menempatkan industri nasional pada titik nadir. Hari Buruh yang seharusnya dirayakan sebagai momen kemenangan, justru terasa getir bagi banyak buruh yang kehilangan pekerjaan dan masa depan.
Karena itu, pemerintah mesti turun tangan secara konkret. Deregulasi kebijakan perlu dilakukan agar industri kembali tumbuh. Revisi Permendag No. 8/2024 harus dipertimbangkan ulang. Selain itu, relaksasi pajak usaha, kemudahan perizinan, insentif teknologi, dan penundaan kenaikan premi BPJS bisa menjadi langkah taktis memperbaiki situasi.
Pekerjaan bukan hanya alat untuk bertahan hidup. Ia adalah jembatan kesejahteraan dan martabat. Ketika dunia industri kuat, maka lapangan kerja akan terbuka luas. Dan saat buruh sejahtera, ekonomi bangsa pun ikut bergairah.
Selamat Hari Buruh 1 Mei 2025. Semoga perjuangan buruh tak hanya dikenang, tetapi juga terus dimenangkan. (Wahyu/aye)
Baca Juga Artikel Berita Lain dari Suaragong di Google News