Harisandi Savari Prihatin Masyarakat Madura Anggap Vaksin Haram
Share
SUARAGONG.COM – Lonjakan kasus campak di Kabupaten Sumenep, Madura, kian mengkhawatirkan. Tercatat lebih dari 2.000 anak terjangkit, 17 di antaranya meninggal dunia, dan penyebaran penyakit meluas ke 26 kecamatan.
Masyarakat Madura Anggap Vaksin Haram, Kasus Campak Meluas
Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur dari Fraksi PKS, Harisandi Savari, menilai rendahnya cakupan imunisasi menjadi penyebab utama tingginya kasus tersebut, selain dampak pandemi COVID-19 yang sempat menghentikan program imunisasi rutin.
Menanggapi kondisi itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah bergerak cepat dengan melaksanakan imunisasi massal melalui program Outbreak Response Immunization (ORI) sejak 25 Agustus. Program ini menargetkan anak usia 9 bulan hingga 6 tahun dengan dukungan distribusi vaksin MR serta keterlibatan lintas sektor.
“Kami tentu mengapresiasi langkah Pemprov Jatim yang sudah meninjau langsung dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari Babinsa, Bhabinkamtibmas, perguruan tinggi, hingga Posyandu. Pendekatan ini penting untuk memperluas jangkauan imunisasi dan edukasi,” kata Harisandi, Kamis (4/9/2025).
Baca Juga : Hoaks Vaksin Haram, Anak Jadi Korban: KLB Campak di Sumenep Buka Luka Lama
Keraguan Imunisasi dan Vaksin
Namun, Harisandi mengungkapkan masih ada hambatan serius di lapangan. Sebagian masyarakat Sumenep masih ragu untuk imunisasi karena menganggap vaksin mengandung bahan yang haram.
Padahal, isu tersebut sudah dijelaskan para ulama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Ini hanya masalah miskomunikasi. Dalam Islam, menjaga jiwa adalah tujuan utama syariat. Obat dan vaksin yang menyelamatkan nyawa justru dianjurkan, bahkan wajib, bila tidak ada alternatif lain,” tegasnya.
Baca Juga : KLB Campak di Sumenep: 1.944 Suspek, 17 Anak Meninggal
Transparansi Medis dan Gandeng Ulama Jadi Kunci
Harisandi mendorong Pemprov Jatim mengedepankan transparansi medis serta menggandeng ulama dalam sosialisasi vaksin. Ia menilai pihak medis perlu menyampaikan kandungan dan proses pembuatan vaksin dengan bahasa sederhana, disertai bukti hasil uji klinis.
Selain itu, menurutnya, kolaborasi dengan MUI serta ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah sangat penting untuk memberikan kepastian hukum syariat kepada masyarakat.
“Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016 sudah jelas menyatakan bahwa imunisasi diperbolehkan (mubah) sebagai ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh dan mencegah penyakit. Ini yang perlu terus disampaikan,” pungkasnya. (Wahyu/aye)

