SUARAGONG.COM – Baru-baru ini, Indonesia dan China mengeluarkan sebuah pernyataan bersama mengenai kerja sama maritim setelah Presiden Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Xi Jinping di Beijing. Pernyataan tersebut langsung menarik perhatian publik. Terutama karena banyak pihak menilai isi dari joint statement itu berkaitan erat dengan sengketa Laut China Selatan (LCS), yang selama ini menjadi isu sensitif di kawasan Asia Tenggara.
Pertemuan yang berlangsung pekan lalu membahas berbagai topik. Mulai dari kerja sama ekonomi hingga isu-isu global yang sedang hangat. Termasuk sengketa Laut China Selatan. Namun, yang paling mencuri perhatian adalah poin terkait kerja sama maritim antara kedua negara. Dalam joint statement yang dirilis oleh kantor berita China, CGTN, terdapat komitmen untuk memperkuat hubungan maritim, dengan tujuan untuk menciptakan lebih banyak terobosan dalam kerja sama dan menjaga ketenangan di laut.
Salah satu bagian dari pernyataan itu berbunyi: “Kedua pihak akan secara aktif menjajaki dan melaksanakan lebih banyak proyek kerja sama maritim. Serta bersama-sama menjaga perdamaian dan ketenangan di laut, memperbaiki sistem tata kelola maritim, menjaga laut tetap bersih dan indah. Serta mencapai kesejahteraan maritim.”
Pernyataan ini juga menyebutkan pentingnya membentuk Komite Pengarah Bersama Antar-Pemerintah untuk mengeksplorasi potensi kerja sama lebih lanjut. Dengan mengedepankan prinsip “saling menghormati, kesetaraan, dan pembangunan konsensus.”
Kerja Sama yang Akhirnya Tuai Kritikan
Namun, pernyataan tersebut menuai kritik, terutama dari kalangan ahli hukum internasional. Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, misalnya, menyatakan bahwa klaim tumpang tindih yang disebutkan dalam pernyataan bersama tersebut kemungkinan besar mengacu pada klaim China atas wilayah Laut China Selatan, yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna Utara.
Hikmahanto mempertanyakan apakah Indonesia kini mengakui klaim sepihak China yang dikenal dengan “nine dash line”, sebuah klaim wilayah yang tidak diakui oleh hukum internasional. Termasuk hukum laut PBB (UNCLOS). Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Internasional telah memutuskan bahwa klaim China atas hampir seluruh Laut China Selatan tidak sah secara hukum.
“Jika benar, berarti Indonesia telah mengubah sikapnya terhadap klaim sepihak China dan mengakui nine dash line yang selama ini kami anggap ilegal.” Kata Hikmahanto dalam keterangan resminya.
Menurutnya, konsep joint development atau pengembangan bersama hanya berlaku jika kedua negara mengakui batas maritim yang saling tumpang tindih. Yang kini menjadi masalah antara China dan Indonesia.
Klarifikasi Prabowo
Menanggapi kritik tersebut, Prabowo Subianto memberi klarifikasi. Dalam kunjungannya ke Amerika Serikat, Prabowo menegaskan bahwa Indonesia akan tetap menjaga kedaulatan di Laut China Selatan.
“Kami ingin kerja sama dengan semua pihak. Tetapi kami juga akan tetap mempertahankan kedaulatan kami.” Ujar Prabowo saat bertemu dengan Presiden AS Joe Biden di Gedung Putih pada 12 November.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia turut memberikan penjelasan. Dalam rilisnya, Kemlu menegaskan bahwa kerja sama maritim dengan China tidak berhubungan dengan pengakuan atas klaim sembilan garis putus China.
“Indonesia menegaskan kembali posisinya bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS.” Tegas Kemlu.
Pernyataan itu juga menekankan bahwa kerja sama dengan China dimaksudkan untuk menjaga stabilitas kawasan dan tidak mempengaruhi kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara. Kerja sama tersebut, menurut Kemlu, justru bertujuan untuk mendorong penyelesaian Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan. Yang diharapkan dapat menciptakan kestabilan dan menghindari potensi konflik.
Secara keseluruhan, meskipun kerja sama maritim antara Indonesia dan China diharapkan dapat mempererat hubungan kedua negara, kritik terhadap isi pernyataan bersama tersebut menunjukkan betapa sensitifnya isu Laut China Selatan bagi Indonesia. Namun, bagi Prabowo dan pemerintah Indonesia, upaya menjaga keseimbangan antara kerja sama internasional dan kedaulatan nasional tetap menjadi prioritas utama. (rfr)
Baca berita terupdate kami lainnya melalui google news