Malang, Suaragong – “Kenapa Saya Jadi wartawan freelance?” Kenapa saya pilih jadi wartawan? Karena cinta dengan kerja jurnalis. Saya menulis sebanyak mungkin karena ingin terus berkomunikasi dengan rakyat. Rakyat bagi saya bukanlah cuma angka dan nomor.
Orang boleh pensiun dari jabatan apapun,tetapi kapan dia harus dari sebutan rakyat? Semua pemangku jabatan sipil dan militer berasal dari rakyat. Sedang kerakyatan harga tertinggi dari kedaulatan manusia. Sebagai wartawan freelance kala itu, saya tidak berbekal pendidikan formal jurnalistik.Itu bukan syarat mutlak bagi seorang wartawan. Disamping banyak membaca,tentu buku-buku karya para wartawan senior. Dari buku itu saya jadi tahu.
Lebih banyak tentang teori-teori jurnalistik dan bagaimana seorang wartawan menulis berita hingga proses dan dinamika di ruang redaksi. Saya tidak pernah kantongi kartu pers yang diberikan oleh badan resmi.
Biar saya dibilang wartawan gadungan atau Wartawan Tanpa Surat Kabar (WTS). Tetapi saya sama dengan wartawan lain. Saya toh bisa jumpa pejabat, mulai dari teras terendah hingga tertinggi. Padahal, setelah itu kembali ke gubuk reyot dengan standart hidup kontrak dan rokok eceran. Masalah gaji?
Untuk setiap perusahaan media relatif tak sama. Ada yang lumayan besar,ada juga sebagian hanya ngasih seharga rokok,kertas folio plus perangko biaya pengiriman (waktu itu belum era digital seperti sekarang).
Siapa sih yang suruh kita jadi wartawan? Isteri dan mertua? Fair nih, tidak suka punya menantu jadi wartawan. Kecuali jika betul-betul profesional yang meliput hingga ke mancanegara. Di jenjang pertama saya jadi wartawan freelance, terkadang tulisan saya ditolak oleh Pemimpin redaksi.
Baca juga : Ini Ucapan Hari Pers Nasional Dari Kadisdik Kab Malang
Tetapi jika berita yang saya tulis sesuai selera perusahaan,mereka justru kecanduan dan meminta saya untuk terus kirim berita. Untuk wawancara yang enak bukan dikantor,itu jika sinara sumber merasakan dampak positif berita saya, ia mengajak melanjutkan wawancara di lobby sebuah hotel mewah. Sambil ngobrol panjang lebar di ruang penting itu,kami berksempatan mencicipi menu-menu yang disajikan.
Saat itu saya jadi kenal istilah stellar disher yang merupakan hidangan andalan superstar dari sebuah hotel dan restoran berkelas. Maaf bung,itu sekedar pengalaman pribadi diluar kode etik jurnalistik.
Di momentum peringatan Hari Pers (HPN) ke-78 2024 saat ini,kedepan saya akan terus menulis dan berkontribusi untuk peningkatan mutu jurnalistik. (*/man)
Comments 1