Suara Gong – Suhu tinggi terjadi di beberapa negara di kawasan Asia tenggara, termasuk Indonesia, menjadi indikator, bahwa pemanasan global menurut para ahli meteorologi dan geofisika di berbagai kesempatan, layak dipercaya.
Dalam laman resmi BMKG dengan judul “Perubahan Iklim, Anomali Suhu Udara Rata-Rata Bulan April 2023” tertulis :
“Berdasarkan analisis 117 stasiun pengamatan BMKG, suhu udara rata-rata bulan April 2023 sebesar 27.1 °C. Sedangkan suhu normal udara klimatologis untuk April, periode 1991-2020 di Indonesia, sebesar 26.9 °C (dalam kisaran normal 20.1 °C – 29.1 °C).
Berdasarkan nilai tersebut, anomali suhu udara rata-rata pada bulan April 2023, menunjukkan angka positif dengan nilai sebesar 0.3 °C. Anomali suhu udara Indonesia, pada bulan April 2023 ini, tertinggi ke-7 sepanjang periode data pengamatan sejak 1981”.
Suhu udara meningkat dari tahun ke tahun itu, salah satu sebabnya karena jumlah CO2 (karbon dioksida) hasil proses pembakaran yang meningkat. Dan di antara suplayer besar CO2 adalah PLTU. Dimana proses pembakaran pembangkit listrik tersebut, masih menggunakan batu bara.
Karena itulah pengoperasian PLTU batu bara, menjadi sorotan dunia. “Global Warming” begitu istilah sedang diwaspadai seluruh negara di dunia.
Upayapun dilakukan. Diantaranya, rencana penghentian pengoperasian PLTU berbahan bakar batu bara di seluruh dunia. Tak terkecuali PLTU Paiton, yang beroperasi sejak 1992 dan tambahan satu unit terakhir beroperasi pada 2013.
Menyikapi permasalahan global tersebut, Pemerintah Indonesia, melalui kementrian ESDM, secara resmi mengumumkan rencana penghentian PLTU berbahan bakar batubara secara bertahap. Kebijakan pemerintah itu disampaikan secara luas melalui media main stream dan medsos.
Tentu kompleks PLTU Paiton, yang seluruh unitnya berbahan bakar batu bara tidak lepas dari kebijakan tersebut. Ada delapan unit operator PLTU dimiliki tiga perusahaan nasional dan multi nasional.
Rinciannya, tiga unit milik PLN Nusantara Power, dua unit milik Jawa Power, dan tiga unit milik Paiton Energi.
PLTU Paiton, sendiri, adalah pemasok 20% kebutuhan listrik di Jawa dan Bali. Menyerap kurang lebih empat ribu tenaga kerja permanen. Baik operator pembangkit, kontraktor dan sub kontraktor.
Tentang penghentian PLTU, hemat penulis, bisa ditinjau dari sisi usia. Dimana pembangkit unit 1&2 milik PLN Nusantara Power, sudah 22 tahun berjalan. Sedangkan unit 5&6 milik Jawa Power, kontrak pembelian listriknya habis pada tahun 2030. Dua perusahaan tersebut tentu lebih rasional dihentikan pengoperasiannya.
Penghentian bisa dilakukan, tentu jika tidak ada upaya perpanjangan atau perubahan. Misalkan bahan bakar diganti EBT (Energi Baru Terbarukan) dengan segala effort tambahan yang dilakukan pihak pembangkit.
Di sisi lain, PLTU Paiton, secara signifikan turut menggerakkan roda ekonomi masyarakat sekitar perusahaan. Sebagai salah satu sumber income masyarakat Kabupaten Probolinggo, kompleks ini telah mengubah topografi dan daya beli masyarakat Paiton, Kraksaan, dan sekitarnya.
Satu perusahaan mempekerjakan sekitar 1.350 orang, hitungan kasar gaji rata-rata Rp5,6 juta, per bulan, maka akan ada sekitar Rp7,5 milliar, uang masuk ke wilayah ini. Dan sekitar Rp22,5 milliar, untuk tiga perusahaan dari aspek penggajian saja.
Belum dari penyediaan material perawatan yang dipasok dari lokal. Hitungan kasar ini tentu tidak akurat, namun setidaknya bisa memberi gambaran besarnya dampak ekonomi kompleks PLTU Paiton pada masyarakat sekitar.
Selain dari dua hal itu, bantuan langsung yang disalurkan melalui program CSR (Corporate Social Responsibility) masing-masing perusahaan, atau bantuan melalui program yang lain juga telah memberi manfaat ekonomi cukup besar.
Jika nanti pemberlakuan penghentian operasional PLTU Paiton, dilakukan, tentu akan menghentikan pula aliran dana masuk bulanan itu. Ini pasti berdampak besar pada ekonomi masyarakat.
Beberapa pertanyaan akan muncul. Antara lain, seberapa besar dampaknya, apa yang harus dilakukan, sudah adakah persiapan dini menghadapi situasi itu nanti, siapa yang menyampaikan dan pada siapa?
Yang pasti, situasi kompleks PLTU Paiton, akan ditinggalkan para karyawan yang sehari-hari hilir mudik. Walaupun tidak sesepi dulu ketika area itu belum dibangun, tapi warung-warung sekitar PLTU Paiton akan sepi pembeli.
Harga tanah akan turun karena tidak banyak kebutuhan, “supply dan demand” berbagai kebutuhan akan mengikuti prinsip dasar ekonomi. Pengangguran akan meningkat, pembinaan usaha UMKM dari CSR perusahaan dan partisipasi untuk kegiatan pemerintah lokal akan jauh berkurang dan sebagainya.
Pada dasarnya, tidak akan ada lagi dukungan sarana dan prasarana sebagaimana yang telah diterima masyarakat selama ini.
Sebagaimana lahirnya kompleks PLTU saat itu, penghentiannya saat inipun karena kebijakan politik pemerintah. Kala itu listrik dibutuhkan sangat mendesak karena sering pemadaman bergilir. Memaksa pemerintah minta bantuan swasta asing untuk membangun pembangkit listrik. Sedangkan rencana penghentian operasional kompleks ini adalah dalam rangka menjawab tekanan global pengurangan penggunaan bahan bakar batu bara sampai 0% ditahun 2060.
Baca juga : Peduli Warga Sekitar PLTU Paiton, PT RMG Bagikan 600 Paket Sembako
Sejatinya, usaha pihak pembangkit mengganti batu bara dengan bahan bakar EBT (Energi Baru Terbarukan) sebagaimana instruksi pemerintah sudah dan terus dilakukan. Walau belum sesuai harapan.
Meski demikian, keberlanjutan operasional pembangkit tersebut, berpulang pada pengambil kebijakan, yakni pemerintah pusat. Menjadi hal ideal saat dampak besar ekonomi atas penutup PLTU bagi masyarakat Kabupaten Probolinggo, juga dipikirkan pemerintah. Semoga ada wakil masyarakat yang berani berbicara di tingkat nasional.(*)