Suaragong – Kebijakan ekonomi yang diambil di tengah suasana hiruk-pikuk politik, Presiden Jokowi memutuskan untuk membatasi subsidi BBM mulai 1 September 2024. Langkah ini, yang tentu akan membuat ramai, akhirnya diumumkan. Mari kita lihat apa yang bisa terjadi jika kebijakan ini diterapkan dan mengapa banyak pengamat ragu akan keberhasilannya.
Baca juga: Resmi Berlaku, Harga BBM Naik Untuk Jenis Pertamax
Pembatasan BBM: Langkah Berani atau Risiko Besar?
Mulai 1 September 2024, Indonesia akan menghadapi perubahan besar dalam pengaturan subsidi BBM. Presiden Jokowi memutuskan untuk membatasi subsidi dengan cara yang mungkin sama rumitnya dengan macetnya lalu lintas di Jakarta: menaikkan harga secara bertahap dan mengatur konsumsi. Dampaknya? Pembatasan ini akan mencakup jenis kendaraan tertentu dan kemungkinan besar aplikasi MyPertamina akan menjadi aplikasi wajib bagi semua pengendara.
Keputusan ini bisa dianggap kurang bijaksana jika diterapkan di akhir masa jabatan Jokowi. Hal ini berpotensi menimbulkan kekacauan saat pergantian pemerintahan. Lebih baik jika presiden terpilih berikutnya, Prabowo Subianto, yang menangani masalah ini agar bisa dilakukan dengan lebih tenang.
Siapa yang Diuntungkan dan Siapa yang Dirugikan?
Jika kebijakan ini diterapkan pada tahun pertama Prabowo, kebijakan ini mungkin lebih strategis, mengingat perlunya rasionalisasi anggaran yang mendesak daripada hanya membatasi BBM. Selain itu, Prabowo bisa lebih fokus pada penyesuaian harga yang tidak mengejutkan masyarakat, daripada mengelola sistem yang belum siap ini.
Selama ini, kebijakan pemerintah sering terjebak dalam lingkaran setan: tidak mengendalikan konsumsi BBM subsidi dan kemudian menaikkan harga saat rezim baru dimulai. Kebijakan ini sangat berisiko, terutama saat kondisi ekonomi masyarakat sedang menurun. Pembatasan pertalite secara mendasar untuk kelompok miskin mungkin lebih masuk akal dibandingkan dengan pembatasan yang rumit dan tidak transparan ini.
Pertamina: Keuntungan Tinggi, Produksi Stagnan
Di sisi lain, kritik mengarah pada PT Pertamina, BUMN yang mengelola kekayaan negara berupa minyak bumi. Selama ini, keuntungan yang diumumkan lebih banyak berasal dari penjualan BBM kepada rakyat ketimbang pencapaian produksi yang signifikan. Pertamina sering melaporkan keuntungan triliunan, tetapi produksi minyak stagnan, menunjukkan kesalahan dalam rencana dan pelaksanaan sistem.
Kenaikan harga BBM tampaknya tak terhindarkan sebagai solusi dari krisis subsidi yang ada, tetapi apakah ini langkah yang tepat? Mengingat inflasi pangan yang tinggi dan tekanan ekonomi yang semakin mendalam, keputusan ini bisa menambah beban rakyat.
Apakah pembatasan subsidi BBM oleh Jokowi akan membawa Indonesia ke arah yang lebih berkelanjutan atau hanya melanjutkan tradisi kebijakan berisiko di awal pemerintahan baru? Kita harus menunggu dan melihat apakah langkah ini benar-benar mampu menyelesaikan masalah atau malah memperburuk keadaan. Yang jelas, masyarakat perlu bersiap menghadapi potensi gejolak ekonomi.
Dalam drama ini, satu hal yang pasti: Indonesia berada di persimpangan jalan, dan setiap keputusan besar yang diambil akan menentukan arah masa depan ekonomi kita. Semoga langkah ini bukan hanya sekadar percobaan di pasar BBM, tetapi sebuah langkah konkret menuju sistem yang lebih baik dan adil. (Ind/rfr)