Type to search

Gaya Hidup Pendidikan Trends

Kenapa IQ dan EQ harus Seimbang?

Share
Kenapa IQ dan EQ harus seimbang (Ilustrasi oleh: Galih)

SUARAGONG.COM – Di dunia yang semakin kompetitif ini, banyak orang masih terlalu fokus mengejar nilai tinggi, ranking kelas, atau skor tes IQ. Padahal, hidup bukan sekadar soal pintar secara akademis.

Baca Juga: Mengenal Muscle Car: Mobil dengan Tenaga Luar Biasa

Pernah nggak sih kamu ketemu orang yang super jenius, tapi susah diajak kerja sama? Atau sebaliknya, ada orang yang biasa aja secara akademis, tapi disukai banyak orang dan sukses di tempat kerja? Nah, itu karena mereka punya sesuatu yang sering diremehkan: EQ atau Emotional Quotient.

Apa Bedanya IQ Sama EQ?

Secara sederhana, IQ (Intelligence Quotient) berkaitan dengan kecerdasan logis dan kemampuan berpikir kritis. Sementara EQ mencakup kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi, baik emosi diri sendiri maupun orang lain. Bayangkan IQ sebagai mesin, dan EQ sebagai kemudinya. Tanpa kemudi, mesin sekencang apa pun bisa nyasar ke mana-mana.

Banyak studi menyebutkan bahwa EQ berperan besar dalam kesuksesan hidup. Bahkan menurut Daniel Goleman, penulis buku Emotional Intelligence, kontribusi EQ dalam dunia kerja bisa lebih dominan dibanding IQ.

Orang dengan EQ tinggi biasanya lebih adaptif, punya empati, bisa komunikasi dengan baik, dan tahu cara menghadapi tekanan tanpa meledak-ledak.

Sebaliknya, IQ tinggi tanpa EQ bisa jadi masalah. Misalnya, kamu tahu jawaban paling benar dalam diskusi kelompok, tapi menyampaikannya dengan nada merendahkan.

Alih-alih didengar, kamu justru dicap arogan. Atau, kamu punya ide brilian di kantor, tapi karena kurang bisa membaca situasi dan emosi rekan kerja, idemu malah diabaikan. Jadi jelas, IQ tanpa EQ bikin kita nggak maksimal dalam praktik sosial sehari-hari.

Apa Pentingnya IQ dan EQ Seimbang Buat Gen Z

Gen Z yang lahir dan tumbuh di era digital punya tantangan sendiri. Kita terbiasa multitasking, sering menghadapi tekanan eksistensi dari media sosial, dan hidup dalam ritme yang cepat.

Di situasi ini, EQ sangat dibutuhkan. Kita perlu tahu kapan harus berhenti sejenak, memahami apa yang sedang kita rasakan, dan bagaimana menghadapi emosi dengan sehat, bukan dengan menyimpan atau meluapkannya secara berlebihan.

Kabar baiknya, EQ bisa dilatih. Mulai dari refleksi diri (journaling bisa jadi awal yang bagus), belajar mendengarkan orang lain tanpa menghakimi, sampai terbuka terhadap kritik. Sementara IQ cenderung stagnan setelah usia tertentu, EQ bisa terus berkembang sepanjang hidup. Tapi itupun perlu diingat bahwa berlaku selama kita mau belajar dan terbuka.

Akhir kata, keseimbangan IQ dan EQ bukan cuma idealisme, tapi kebutuhan. Dunia kerja, hubungan sosial, bahkan kehidupan pribadi semua menuntut lebih dari sekadar otak encer.

Kita butuh kecerdasan emosional untuk menjadi manusia yang utuh, yang nggak cuma bisa mikir, tapi juga bisa merasa dan memahami. Jadi, yuk sama-sama upgrade dua-duanya. (PGN)

Baca Juga Artikel Berita Lain dari Suaragong di Google News

Tags:

You Might also Like

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *