SUARAGONG.COM – Pernah nggak sih, kamu merasa bahwa orang lain terlalu cepat menilai sesuatu—atau mungkin malah sadar kalau dirimu sendiri sering melakukannya? Aku dulu juga sering begitu. Entah kenapa, ada dorongan alami untuk “menyortir” orang berdasarkan perilaku atau pilihan hidup mereka. Kayak sebuah refleks, kita sering kali langsung bikin opini—baik atau buruk—tentang seseorang hanya dari satu momen kecil dalam hidup mereka.
Dulu, aku pernah berasumsi buruk tentang seorang teman kantor yang sering terlambat. Dalam pikiranku, dia seperti sosok yang malas dan nggak profesional. Tapi ternyata, saat aku ngobrol lebih dalam, dia punya alasan kuat: ibunya sakit parah, dan dia harus merawat ibunya di pagi hari sebelum berangkat kerja. Saat itu, aku merasa sangat malu. Ternyata, aku hanya melihat “permukaan” tanpa tahu cerita di baliknya.
Dorongan untuk Menghakimi: Insting Lama yang Masih Melekat
Menghakimi itu, kalau dipikir-pikir, adalah sesuatu yang lumrah. Otak manusia sudah dirancang untuk membuat kategori sejak zaman nenek moyang. Waktu itu, kita butuh kemampuan ini untuk bertahan hidup—misalnya, menentukan apakah orang asing adalah ancaman atau sekutu. Sayangnya, di zaman modern ini, kemampuan itu sering malah digunakan untuk menilai orang berdasarkan hal-hal remeh, seperti penampilan atau pilihan gaya hidup mereka.
Media sosial memperparah ini. Di Instagram atau Twitter, kita sering lihat potongan kecil kehidupan orang lain—dan langsung bikin asumsi besar. Orang upload foto makan di restoran mahal? Wah, pasti sok pamer. Padahal, bisa jadi itu cuma momen spesial setelah mereka menabung berbulan-bulan.
Baca juga : Kenapa Orang Memilih Slow Living?
Kenapa Kita Melakukannya?
Meningkatkan Rasa Aman
Kadang, menghakimi orang lain bikin kita merasa lebih baik. Misalnya, saat kita melihat seseorang gagal, ada rasa lega terselubung bahwa kita nggak ada di posisi mereka. Ini semacam mekanisme pertahanan diri yang nggak sehat, tapi sering kali nggak kita sadari.
Kekurangan Empati
Di dunia yang serba cepat, kita jarang meluangkan waktu untuk benar-benar memahami orang lain. Akibatnya, kita gampang bikin kesimpulan tanpa mencari tahu konteks yang lebih luas.
Budaya Kompetisi
Dalam banyak aspek kehidupan, kita diajari untuk selalu membandingkan diri dengan orang lain. Hal ini membuat kita cenderung mencari “kelemahan” orang lain sebagai pembenaran bahwa kita lebih baik.
Baca juga : Ini Manfaat Menjadi Orang Pelupa
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Menyadari bahwa kita punya kebiasaan ini adalah langkah pertama. Aku sendiri mulai melatih diri untuk berhenti sejenak sebelum bikin asumsi tentang orang lain. Sebuah quote yang selalu kuingat adalah, “Everyone you meet is fighting a battle you know nothing about. Be kind. Always.”
Beberapa cara praktis yang bisa membantu:
- Latih Empati. Coba tanyakan pada diri sendiri, “Apa ya alasan mereka melakukan itu?” Daripada langsung menilai, berikan ruang untuk rasa penasaran yang sehat.
- Pahami Diri Sendiri. Kadang, kita menghakimi orang lain karena ada rasa tidak aman dalam diri sendiri. Mengapa hal itu mengganggu kita? Apakah itu cerminan kekurangan dalam hidup kita?
- Praktikkan Mindfulness. Dengan menjadi lebih sadar tentang pikiran kita, kita bisa mencegah respons otomatis berupa penghakiman.
Setiap orang punya cerita masing-masing, dan kita nggak pernah tahu cerita lengkapnya. Menghakimi memang insting alami, tapi itu bukan sesuatu yang nggak bisa kita ubah. Dengan sedikit usaha, kita bisa mengarahkan energi itu untuk lebih memahami, bukan menghakimi. Bukankah dunia akan jadi tempat yang lebih baik kalau kita semua mencoba? (acs)