Baru-baru ini, pemberitaan terkait pembunuhan terhadap perempuan oleh orang terdekat, khususnya keluarga, menjadi sorotan. Hal ini menimbulkan keprihatinan—jika ruang terdekat seperti keluarga justru menjadi pelaku kekerasan, di mana lagi perempuan bisa merasa aman?
Realitas Kelam Femisida di Dunia
Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan fakta mengejutkan: setiap lima jam, rata-rata lima perempuan atau anak perempuan dibunuh oleh anggota keluarga sendiri. Kasus-kasus ini sering kali berakar dari identitas mereka sebagai perempuan, dan itulah yang menjadi dasar istilah “femisida.” Istilah ini pertama kali muncul pada 1801 melalui karya penulis Irlandia, John Corry, dan kembali disoroti pada 1970-an oleh aktivis Diana EH Russell, yang mendefinisikannya sebagai pembunuhan terhadap perempuan hanya karena gender mereka. Femisida mencakup kekerasan berbasis gender secara ekstrem, dari pembunuhan atas nama “kehormatan” hingga kekerasan dalam hubungan intim.
Femisida terbagi menjadi dua jenis: femisida langsung, seperti pembunuhan dalam hubungan pasangan atau terkait budaya dan tradisi tertentu, serta femisida tidak langsung yang meliputi kematian akibat kelalaian, aborsi tidak aman, atau perdagangan manusia. Di Indonesia sendiri, laporan Jakarta Feminist menyebutkan 37% kasus femisida melibatkan pelaku dari hubungan yang dekat, termasuk pasangan dan anggota keluarga lainnya.
Krisis Perlindungan dan Sikap Negara
Di saat ruang terdekat perempuan tak lagi aman, seharusnya negara memberikan perlindungan lebih kuat bagi hak asasi perempuan. Sayangnya, respons terhadap kasus femisida di Indonesia kerap kurang prioritas. Meski terdapat undang-undang seperti Pasal 338 KUHP, UU KDRT, dan UU Perlindungan Anak, penegakan hukum sering kali belum maksimal.
Studi dari Universitas Queen Mary di London menggunakan kasus Meksiko untuk menyoroti bahwa undang-undang saja belum cukup mengurangi angka femisida. Pendekatan yang lebih efektif harus mencakup peningkatan kesadaran masyarakat dan penerapan hukum yang lebih tegas.
Baca juga : Hubungan Pacaran Tidak Sehat Ronald-Dini Berujung Pembunuhan
Mengubah Akar Permasalahan
Mengatasi femisida bukan hanya soal menindak pelaku, tetapi juga membongkar akar budaya seperti maskulinitas beracun dan ketidaksetaraan gender. Kampanye tentang kesetaraan dan pengajaran nilai-nilai tersebut sejak usia dini bisa membantu membentuk generasi yang menghormati hak perempuan dan menekan tindak kekerasan di masa depan. Kesetaraan gender bukan hanya isu orang dewasa, tetapi nilai yang perlu diajarkan sejak anak-anak agar terbentuk fondasi moral yang kuat dalam melawan kekerasan berbasis gender.
Upaya untuk memerangi femisida membutuhkan komitmen bersama dari masyarakat, lembaga hukum, dan pemerintah, bukan hanya untuk menindak pelaku, tetapi juga untuk mengubah pola pikir dan budaya yang mendasari terjadinya kekerasan terhadap perempuan. (acs)