Type to search

News

Kritik Media Pesantren Kenapa Perlu Diomongin?

Share
kritik media pesantren

SUARAGONG.COM – Eh gaes, jadi gini. Baru-baru ini jagat media tanah air sedikit meledak gara-gara tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 yang dianggap nyindir-nyindir pesantren, khususnya Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri. Banyak pihak marah, menyebut media sudah gak fair, tendensius, dan nggak menghormati nilai-nilai pesantren. Dari sinilah muncul narasi besar kritik media pesantren gimana media harus adil, sensitif, dan menghargai konteks budaya dan agama. Yuk, kita bahas bareng-bareng, santai aja tapi tetap serius.

Kronologi Tayangan, Kekecewaan, Audiensi

1. Tayangan Bermasalah

Pada 13 Oktober 2025, Trans7 menayangkan program Xpose Uncensored dengan judul provokatif:

“Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?”

Judul itu langsung memancing kritik pedas. Banyak yang bilang sudah melewati batas menyindir tradisi pesantren, menimbulkan kesan negatif, dan enggak cover both side.

2. Permintaan Maaf dan Penghentian Siaran

Setelah hujatan netizen makin deras, Trans7 akhirnya ngaku keliru. Dalam rapat bersama DPR, KPI, dan Komdigi (Kementerian Komunikasi & Digital), Dirut Trans7, Atiek Nur Wahyuni:

  • Menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada santri, kiai, pengasuh, alumni dan masyarakat pesantren.
  • Mengaku bahwa tayangan itu dibuat oleh production house eksternal, bukan in-house.
  • Memutus kerja sama dengan PH tersebut sejak 14 Oktober agar program itu gak tayang lagi di TV, media sosial, maupun platform digital mereka.

Audensi dan Desakan DPR

DPR, yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurizal, menerima audiensi bersama KPI, Komdigi, dan perwakilan alumni Lirboyo. Kesimpulan rapat:

  • Apresiasi KPI karena sudah menjatuhkan sanksi penghentian sementara program itu.
  • Mendesak Komdigi dan KPI untuk melakukan audit dan evaluasi menyeluruh terkait izin hak siar Trans7.
  • Menegaskan bahwa sanksi harus sesuai dengan hasil audit, supaya kejadian seperti ini gak terulang.
  • Menekankan bahwa media harus ketat dalam editing dan peninjauan konten, terutama yang menyentuh nilai agama, budaya dan lembaga pendidikan.

Jadi, rapat itu nggak cuma temu dan maaf-maafan, ada tuntutan agar sistem media diperbaiki dari hulu ke hilir.

Baca juga: Ratusan Santri Kota Malang Lakukan Aksi, Tuntut Trans7

Perspektif Ruh Pesantren & Framing Media

Ketika media membuat liputan tentang pesantren, ada dua hal besar yang harus dijaga:

  1. Ruh Pesantren
    Nilai-nilai spiritual, karakter, akhlak, tradisi pondok, kebersamaan.
  2. Etika Jurnalistik
    Fair, keseimbangan, kontekstualisasi, cek dan ricek.

Di artikel “Nyala Ruh Pesantren di Tengah Framing Media” (Kemenag), ditonjolkan konsep ruhiologi. Yaitu kecerdasan ruhani (RQ) sebagai basis nilai hidup pesantren sabar, ikhlas, tawadhu, cinta ilmu.

Penulis mengkritik media yang cuma memotong sebagian fakta (framing), tanpa menyentuh nilai spiritual dan konteks pesantren. Jika media melupakan ruh etik itu, liputannya bisa jadi dangkal bahkan membikin stigma negatif.

Jadi, kritik media pesantren bukan cuma soal media harus berhenti nyerang. Tapi media harus memahami ruh pesantren dulu, baru boleh meliput dengan bijak.

Baca juga: Lapas Jombang Gelar Sholawatan dan Resmikan Pondok Pesantren Al-Muhajirin

Respon dari MUI & Suara Ulama

Yang makin memperkuat urgensi konflik ini adalah respons dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Bidang Infokom, KH Masduki Baidlowi, menyebut tayangan itu tidak professional dan tidak menampilkan sudut pandang kedua pihak (tidak cover both side).

Dia juga meminta KPI agar memberi sanksi tegas terhadap Trans7 sesuai regulasi penyiaran, karena menurutnya tayangan itu menghina tradisi pesantren besar dan bisa memicu respon emosional masyarakat. Artinya kritik media pesantren ini bukan sekadar diskusi akademis, tapi memang menyentuh kehormatan lembaga agama dan simbol budaya umat.

Baca juga: DPRD Kota Malang Dorong Pemkot Realisasikan Perda Pesantren

Apa Pelajaran & Jalan Ke Depan?

Berikut poin-poin penting yang bisa kita petik:

1. Media Harus Sensitif dan Kontekstual

Nggak cukup bikin konten menarik. Ketika tema agama, budaya, pesantren jadi bahan liputan, media harus punya awareness jangan ala kadar. Gunakan data, testimonia, dan beri ruang ke pihak yang difokuskan, agar liputan seimbang.

2. Sistem Internal Media Perlu Diperbaiki

Trans7 sudah mengaku bahwa program itu diproduksi luar. Ini menunjukkan bahwa kontrol internal editorial, quality check perlu diperkuat. Produk eksternal tetap harus melewati filter yang ketat.

3. Regulasi & Pengawasan Lebih Tegas

Audit izin siar, evaluasi sistem penyiaran, penegakan sanksi semua itu perlu agar media punya batasan yang jelas. DPR & KPI sudah mendesak hal ini.

4. Media & Pesantren Bisa Kolaborasi

Daripada sinis-sinisan, lebih sehat kalau media dan pesantren punya dialog media memahami realitas pesantren, pesantren (juga) takut terbuka. Dengan begitu, liputan yang lahir bisa saling menghormati.

Baca juga: Pesantren Al Fauzan Lumajang Resmikan Laboratorium Moderasi Beragama

Oke bro, kesimpulannya:

  • Kasus Trans7 vs Lirboyo itu jadi contoh real kritik media pesantren. Di mana media bisa salah framing dan tidak menghargai nilai pesantren.
  • Respons dari DPR, KPI, MUI sampai Komdigi menunjukkan bahwa publik dan lembaga negara gak mau media main-main.
  • Kita sebagai generasi muda, yang hidup di era media digital, juga punya peran jangan asal share, cek dulu narasi, lihat konteksnya.

Semoga artikel ini bantu kamu paham drama di balik layar dan bikin kita makin kritis terhadap media. (dny)

Tags:

You Might also Like

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • sultan69
  • sultan69
  • sultan69
  • sultan69
  • sultan69
  • sultan69