Larangan Study Tour Bikin Wisatawan Desa Jogja Turun 30 Persen
Share

SUARAGONG.COM – Larangan study tour yang diberlakukan sejumlah daerah, khususnya di Jawa Barat, berdampak signifikan pada sektor pariwisata edukatif. Salah satunya dialami oleh Desa Wisata Pentingsari di Yogyakarta yang mencatat penurunan kunjungan hingga 30 persen.
Larangan study tour Sekolah Sebabkan Menurunnya Kunjungan Desa Wisata Jogja
Ketua Pengelola Desa Wisata Pentingsari, Cipta Ningtyas, mengungkapkan bahwa larangan tersebut membuat sekitar 1.200 siswa yang sebelumnya dijadwalkan berkunjung membatalkan kegiatan mereka.
“Sebenarnya kami lagi bersedih nih, Mbak, dengan adanya SK dari Pak Dedi Mulyadi. Biasanya April dan Mei itu masa-masa kunjungan ramai. Tapi sejak ada larangan, turun sekitar 30 persen,” ujar Ningtyas, dikutip Jumat (1/8/2025).
Desa Wisata Pentingsari selama ini memang menyasar segmen edukasi bagi pelajar sekolah. Mereka menyediakan program pembelajaran berbasis praktik lapangan, sejalan dengan kurikulum P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) dari Kemendikbudristek.
“Di sini, anak-anak bisa belajar langsung dari alam, seperti bagaimana proses menanam padi, mengenal kehidupan petani, sampai mereka paham betapa besar usaha di balik sepiring nasi,” jelasnya.
Baca Juga : Pemprov Jabar Larang Study Tour Luar Daerah, Wisuda, dan Game
Asal-Usul Larangan Study Tour
Kebijakan larangan study tour bermula dari keputusan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menilai kegiatan tersebut menyimpang dari esensi pendidikan. Lewat Surat Edaran Nomor 43/PK.03.04/Kesra, yang diterbitkan Mei 2025, ia melarang seluruh sekolah di wilayahnya melakukan study tour ke luar daerah.
Menurut Dedi, study tour saat ini kerap berubah menjadi ajang rekreasi mahal yang membebani orang tua, tanpa manfaat edukatif yang jelas.
Sebagai alternatif, sekolah didorong untuk mengadakan wisata edukatif lokal yang lebih murah dan kontekstual.
Namun kebijakan ini membawa dampak luas, termasuk terhadap desa-desa wisata edukatif seperti Pentingsari yang selama ini mengandalkan kunjungan sekolah.
“Kami berharap ada pertimbangan ulang, atau setidaknya pembukaan ruang kolaborasi agar desa wisata edukatif tetap bisa hidup,” tutup Ningtyas. (Aye)