Gaes !!! Lonjakan PHK di Indonesia: Implikasi dan Kebijakan
Share

Suaragong – Per pertengahan Agustus 2024, jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia telah meningkat tajam menjadi 44.195 orang. Hal ini menunjukkan lonjakan signifikan dibandingkan dengan angka PHK yang tercatat pada periode Januari hingga Juni 2024, yaitu 32.064 orang. Serta periode Januari hingga Mei 2024 yang hanya mencatat 27.222 orang. Data ini mencerminkan tren negatif yang berkelanjutan dalam pasar tenaga kerja nasional.
Analisis mendalam terhadap data Kementerian Ketenagakerjaan mengungkapkan bahwa sektor industri pengolahan, termasuk subsektor tekstil, garmen, dan alas kaki, adalah kontributor utama terhadap jumlah PHK. Dengan total 22.356 pekerja yang terdampak. Di sisi lain, sektor non-industri pengolahan mengalami 20.507 PHK. Menambah kompleksitas dinamika ketenagakerjaan di Indonesia.

Lonjakan PHK di Indonesia: Implikasi dan Kebijakan (Media Suaragong)
Baca juga: Sustainable Economic, Ekonomi Keberlanjutan Dikampung Industri
Sebagai rincian, lima sektor industri dengan jumlah PHK tertinggi per 31 Juli 2024 adalah sebagai berikut:
1. Industri Pengolahan: 22.356 PHK
2. Aktivitas Jasa Lainnya: 11.656 PHK
3. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan: 2.918 PHK
4. Pertambangan dan Penggalian: 2.771 PHK
5. Perdagangan Besar dan Eceran: 1.902 PHK
Tantangan ekonomi global saat ini semakin memperburuk situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Baru-baru ini, perusahaan hasil penggabungan Tokopedia dan TikTok Shop, yang kini berada di bawah pengelolaan ByteDance, mengumumkan kebijakan PHK. Meskipun demikian, jumlah pekerja yang terkena dampak tidak dipublikasikan secara terbuka.
Kondisi di sektor industri pengolahan, khususnya pabrik garmen yang mempekerjakan 3.000 buruh, menunjukkan dampak langsung dari penghentian operasional. Faktor-faktor yang memicu PHK ini mencakup penurunan pesanan dan beban upah minimum yang meningkat. Serta dampak negatif dari ketidakstabilan geopolitik dan resesi ekonomi global.
Tanggapan Akademisi Ekonomi Keuangan
Menurut Akademisi Ekonomi Keuangan, Indra Lukmana Putra, beberapa faktor eksternal, seperti maraknya produk impor ilegal dan penurunan daya beli masyarakat akibat devaluasi rupiah, berkontribusi pada gelombang PHK.
Selain itu, ketidakpastian politik di Indonesia turut mempengaruhi keputusan perusahaan untuk melakukan PHK. Dengan banyak perusahaan yang menerapkan strategi “wait and see” terhadap dinamika politik.
Dalam upaya mitigasi, Putra menyarankan beberapa langkah strategis. Pertama, perlu dilakukan evaluasi ulang terhadap Peraturan Menteri Perdagangan nomor 8 Tahun 2024 yang mengatur kebijakan dan pengaturan impor. Peraturan ini, yang dicurigai berkontribusi terhadap maraknya produk impor, mungkin perlu direvisi untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap industri domestik.
Kedua, peningkatan daya beli masyarakat melalui stabilitas harga dan program bantuan sosial. Hal ini diharapkan dapat membantu meningkatkan konsumsi dan mendukung ekonomi domestik.
Lebih lanjut, Putra seorang akademisi bidang Keuangan, menekankan pentingnya penguatan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai strategi untuk mengatasi dampak PHK. Penguatan UMKM tidak hanya dapat menyerap tenaga kerja yang terkena PHK. Tetapi juga berfungsi sebagai buffer terhadap ketidakstabilan ekonomi.
Penyelenggaraan program padat karya dan dukungan terhadap sektor industri kreatif juga merupakan langkah-langkah yang dianggap penting untuk meningkatkan resiliensi ekonomi nasional.
Secara keseluruhan, lonjakan PHK dan tantangan ekonomi yang dihadapi memerlukan tindakan kebijakan yang komprehensif dan terkoordinasi. Untuk menjaga stabilitas pasar tenaga kerja dan memastikan kesejahteraan ekonomi nasional. (Ind/rfr)