Menparekraf Soroti Fenomena Sound Horeg
Share

SUARAGONG.COM – Fenomena sound system horeg atau sound horeg yang belakangan ramai diperbincangkan publik mendapat perhatian dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya. Perangkat audio berdaya tinggi ini kerap digunakan pada acara rakyat seperti karnaval desa, pesta pernikahan, sunatan, hingga pasar malam.
Menparekraf Tanggapi Fenomena Sound Horeg
Meski menjadi bagian dari hiburan tradisional dan ruang ekspresi anak muda, sound horeg sering menuai keluhan lantaran menghasilkan suara dengan tingkat kebisingan ekstrem. Sejumlah warga di berbagai daerah menganggapnya mengganggu ketenangan, terutama pada malam hari.
Riefky menilai penggunaan sound horeg perlu disikapi secara bijak. Menurutnya, setiap daerah memiliki kearifan lokal dan tradisi yang berbeda, sehingga pendekatan penyelesaiannya tidak bisa disamaratakan.
“Ya betul, tetapi kita tentu harus melihat kearifan lokal daerah masing-masing,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (7/8/2025).
Menteri asal Aceh ini menegaskan, pemerintah pusat tidak akan melakukan intervensi langsung terkait aturan penggunaan sound horeg. Kebijakan sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah yang memahami situasi dan karakter masyarakat setempat.
“Itu dari kearifan lokal lah, kita serahkan ke pemerintah daerah,” lanjutnya.
Baca Juga : Pemprov Jatim Siapkan Regulasi Sound Horeg Lewat Tim Khusus
Perspektif Ekonomi Kreatif
Di sisi lain, Riefky menyoroti bahwa dari perspektif ekonomi kreatif, sound horeg belum sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai bentuk usaha kreatif yang inklusif dan berkelanjutan. Ia mendorong pelaku hiburan rakyat untuk mengembangkan alternatif kegiatan yang tetap produktif, menarik, namun tidak mengganggu lingkungan sekitar.
“Sebetulnya masih banyak kegiatan ekonomi kreatif juga yang bisa diterima oleh masyarakat, terutama yang tidak mengganggu lingkungan,” jelasnya.
Riefky juga mengingatkan agar penggunaan sound system berskala besar mematuhi aturan teknis dan regulasi yang berlaku. Termasuk mengatur tingkat volume, durasi penggunaan, serta waktu pelaksanaan acara agar tidak melanggar ketentuan jam malam yang berlaku di beberapa daerah.
“Imbauannya ya itu, dikembalikan ke daerah masing-masing,” tegasnya.
Fenomena sound horeg memang memunculkan dua sisi pandang yang berlawanan. Bagi sebagian orang, keberadaannya menjadi bagian dari warna budaya lokal yang patut dilestarikan. Namun bagi pihak lain, terutama masyarakat yang membutuhkan ketenangan, suara bising dari perangkat tersebut menjadi sumber gangguan.
Dengan kebijakan yang diarahkan ke pemerintah daerah, diharapkan akan tercipta keseimbangan antara pelestarian budaya hiburan rakyat dan kenyamanan warga. Hal ini juga menjadi tantangan bagi para pelaku ekonomi kreatif untuk berinovasi, menghadirkan hiburan yang tetap diminati tanpa mengorbankan ketentraman lingkungan. (Aye/sg)