Pemerintah Evaluasi Program MBG Usai Maraknya Keracunan Massal
Share

SUARAGONG.COM – Program andalan pemerintah, Makan Bergizi Gratis (MBG), lagi-lagi tersandung masalah serius. Ironisnya, bukannya menyehatkan, makanan dari program MBG ini justru berulang kali membuat anak-anak sekolah masuk daftar pasien keracunan massal.
Evaluasi atau Sekadar Retorika, Program MBG Kembali Telan Korban
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi buru-buru menegaskan pemerintah akan melakukan evaluasi serius. Ia mengklaim sudah berkoordinasi dengan Badan Gizi Nasional (BGN) dan pemerintah daerah. “Yang pertama adalah memastikan seluruh terdampak yakni penanganan secepat mungkin dan sebaik-baiknya. Yang kedua tentu melakukan upaya evaluasi termasuk mitigasi dan perbaikan supaya masalah-masalah ini tidak terulang kembali,” ujarnya di Jakarta, Senin (22/9).
Namun, publik mulai lelah mendengar kata-kata “evaluasi” yang terus diulang setiap kali ada korban. Pasalnya, kasus serupa telah berulang kali terjadi, tanpa tanda-tanda perbaikan nyata di lapangan.
Baca Juga : BGN Evaluasi Pembangunan SPPG Mangkrak yang Dianggap Fiktif
Janji Prosedur dan Sistem yang Masih Bocor
Kepala Biro Hukum dan Humas BGN, Khairul Hidayati, ikut menegaskan lembaganya memiliki prosedur ketat, bahkan sistem pelaporan berkala di tingkat Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). “Hal ini diharapkan dapat memperkuat sistem pemantauan dan pengawasan program,” katanya.
Sayangnya, teori di atas kertas itu tak berjalan seindah kenyataan. Fakta di lapangan menunjukkan makanan MBG justru menjadi sumber mual, muntah, hingga diare massal. Seolah-olah SOP yang dibanggakan hanya berhenti di dokumen, bukan di meja makan para siswa.
Tekanan dari Peneliti: MBG Harus Dievaluasi Total
The Indonesian Institute (TII) menilai pemerintah sudah kehabisan alasan. Menurut peneliti bidang sosial TII, Made Natasya Restu Dewi Pratiwi, kasus keracunan yang terus berulang adalah alarm keras.
“Maraknya kasus keracunan ini harus dijadikan alarm keras bagi pemerintah untuk segera melakukan evaluasi total MBG. Bahkan, sebaiknya MBG diberhentikan terlebih dahulu untuk mendalami akar masalah, sehingga tidak meningkatkan jumlah korban,” tegas Natasya.
Ia mengingatkan, teori keamanan pangan menuntut nol kasus sebagai target mutlak. “Setiap kejadian keracunan adalah indikator kegagalan sistem keamanan pangan yang berisiko menelan korban lebih luas,” jelasnya.
Dalam Policy Assessment 2025 TII, Natasya merekomendasikan penguatan pelatihan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) bagi tim pengawas keamanan pangan, termasuk di sekolah. Tetapi TII mencatat, hingga kini Dinas Kesehatan maupun Dinas Pendidikan di berbagai daerah bahkan belum terinformasi mengenai hal itu.
Artinya, pemerintah sibuk bicara standar tinggi, sementara pelaksana di bawah bahkan tidak tahu harus melakukan apa.
Baca Juga : Sudah Terbangun 45 SPPG di Kabupaten Malang
Catatan Kasus Program MBG
Hanya dalam sepekan terakhir, deretan kasus keracunan MBG menjadi bukti nyata gagalnya pengawasan:
- 194 siswa di Kabupaten Garut, Jawa Barat
- Puluhan siswa di Kabupaten Gunungkidul, DIY
- 277 siswa di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah
- 65 siswa di Kabupaten Sumbawa, NTB
- Puluhan siswa di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara
Semua korban mengalami gejala mual, muntah, hingga diare setelah menyantap makanan dari MBG.
Alih-alih menyehatkan generasi, MBG justru memperlihatkan bagaimana kebijakan ambisius bisa gagal di tangan birokrasi yang setengah hati. Pemerintah terus mengulang narasi “evaluasi” setiap kali kasus meledak, namun korban terus berjatuhan.
Pertanyaannya: sampai kapan anak-anak sekolah dijadikan “kelinci percobaan” program gizi? Apakah evaluasi yang dijanji (aye)kan hanya ritual administratif, atau benar-benar akan mengubah dapur MBG yang selama ini penuh risiko? Tanpa jawaban konkret, MBG bisa jadi bukan Makan Bergizi Gratis, melainkan Makan Berisiko Gratis. (Aye)