Polemik Royalti Musik, Akademisi FH UB Ingatkan Keadilan Hak Cipta
Share
SUARAGONG.COM – Polemik mengenai pembayaran royalti musik kembali jadi sorotan publik. Beberapa waktu terakhir, sejumlah kasus sengketa pembayaran royalti yang nilainya bahkan mencapai miliaran rupiah ramai diperbincangkan. Hal ini memicu pro-kontra, khususnya soal kewajiban pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang memutar musik di ruang publik.
Polemik Royalti Musik, Akademisi FH UB Ingatkan Keadilan dalam Perlindungan Hak Cipta
Menanggapi isu tersebut, Dr. Yenny Eta Widyanti, S.H., M.Hum., Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) yang memiliki keahlian di bidang Hak Kekayaan Intelektual, memberikan pandangan akademis terkait dasar hukum royalti musik di Indonesia.
Menurut Dr. Yenny, royalti merupakan bentuk imbalan kepada pencipta atau pemegang hak cipta atas penggunaan karya mereka. “Royalti adalah imbalan atas penggunaan ciptaan yang diberikan kepada pencipta atau pemegang hak cipta. Dasarnya sudah jelas, yakni UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta diperkuat dengan PP Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti,” jelasnya.
Ia menambahkan, siapapun yang menggunakan ciptaan musik untuk kepentingan komersial atau meraih keuntungan ekonomi, wajib membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Lembaga inilah yang nantinya menghimpun sekaligus mendistribusikan royalti kepada para pencipta lagu.
Baca Juga : Agnez Mo Bebas dari Kewajiban Bayar Royalti Rp1,5 Miliar
UMKM dan Beban Royalti
Meski aturan sudah jelas, Dr. Yenny mengakui bahwa polemik muncul terutama soal besaran royalti. Untuk usaha dengan skala besar—misalnya restoran dengan kapasitas ratusan kursi—tarif royalti bisa mencapai ratusan ribu rupiah per kursi.
“Bagi usaha mikro, kecil, dan menengah, aturan sebenarnya memberikan keringanan. Namun hingga saat ini, belum ada ketentuan yang benar-benar tegas soal pengecualian bagi usaha kecil yang nyaris tidak seberapa marginnya,” ujarnya.
Hal ini, menurut Dr. Yenny, perlu jadi perhatian serius pemerintah. Ia menekankan bahwa mekanisme pembayaran royalti jangan sampai justru menekan pelaku usaha kecil. “Asas kewajaran dan keadilan harus tetap dijaga. Hak pencipta memang harus dihormati, tetapi ekonomi rakyat juga tidak boleh tercekik,” imbuhnya.
Baca Juga : Putar Lagu di Acara Pernikahan Akan Dikenakan Royalti 2 Persen
Royalti, Hak Ekonomi, dan Public Domain
Lebih lanjut, Dr. Yenny mengingatkan bahwa tidak semua musik harus dikenai royalti. Hak cipta pada karya musik memiliki jangka waktu perlindungan, yaitu selama hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah meninggal dunia. Jika melewati masa itu, karya tersebut akan masuk public domain sehingga bisa digunakan masyarakat luas tanpa kewajiban membayar royalti.
Oleh karena itu, ia mendorong adanya sosialisasi yang lebih masif mengenai pusat data lagu dan musik serta sistem informasi lagu yang dikelola LMKN. Menurutnya, hal ini akan membantu masyarakat, khususnya pelaku usaha, untuk memahami karya mana saja yang masih dilindungi hak cipta dan berapa besar royalti yang berlaku.
“Perlindungan hak cipta hadir sebagai bentuk penghargaan kepada pencipta. Royalti adalah reward yang pantas, tapi tetap harus diatur dengan proporsional dan adil. Intinya, hak pencipta terlindungi, tapi ekonomi rakyat juga harus tetap tumbuh,” tegasnya.
Dengan penjelasan ini, Dr. Yenny berharap polemik soal royalti musik tidak lagi dipandang sebagai sekadar beban, melainkan sebagai upaya membangun ekosistem musik yang sehat, adil, dan saling menghargai. (Fat/aye)